Short Description
Situasi yang terjadi di kerajaan Persia sebelum Islam benar-benar merupakan pentas tragedi peradaban dalam segala aspeknya, baik moral, sosial, maupun agama
Situasi yang terjadi di kerajaan Persia sebelum Islam benar-benar merupakan pentas tragedi peradaban dalam segala aspeknya, baik moral, sosial, maupun agama
A. Kondisi Moral
Kemerosotan moral merebak secara luas. Demikian parahnya, sampai-sampai Persia terjerumus ke dalam perangkap pernikahan sedarah. Kisra Yazdajird II menikahi putrinya lalu membunuhnya. Sementara Bahrâm Chobin menikahi saudarinya sendiri. Ada pula yang menikahi ibunya sendiri. Penyakit ini tidaklah lazim terjadi pada bangsa-bangsa lain di zaman itu, bahkan dipandang sangat menjijikkan. Masyarkat bangsa-bangsa lain ketika itu mengingkari perilaku bangsa Persia yang melakukan pernikahan sedarah ini.
Pada zaman kekuasaan Kavadh, muncullah seorang lelaki yang disebut-sebut sebagai filsuf, padahal sejatinya ia adalah musibah dan bencana besar yang menjerumuskan Persia ke dalam lubang kehancuran. Ia berkata Manusia itu seluruhnya sama dalam segala hal. Ungkapan ini secara zahir terlihat baik, namun intinya sangatlah buruk. Sebab, ia sebenarnya bukan menyerukan persamaan hak, kewajiban, perlakuan, dan penghormatan, tetapi menyerukan bersekutunya manusia dalam kepemilikan harta dan perempuan. Artinya, mereka semua dipandang sama dalam memiliki dua hal ini. Jadi, pada hakikatnya, ini merupakan propaganda komunisme yang sangat menjijikkan.
Seorang lelaki yang kuat kemudian dapat masuk ke dalam rumah lelaki yang lemah, lalu menguasai harta dan istrinya, sementara lelaki yang lemah itu tidak bisa berbuat apa-apa, karena komunisme telah menjadi agama mereka. Tidak ada penghormatan terhadap kepemilikan pribadi, sehingga orang-orang tidak mau bekerja, lantaran tidak bisa mengambil manfaat dari upah yang mereka peroleh. Pencurian pun merebak, karena ini merupakan cara paling mudah untuk mendapatkan harta. Kisra Kavadh merestui semua fenomena ini, karena menganggapnya sebagai agama, sehingga rusaklah seluruh manusia yang ada di masyarakat ketika itu.
Bandingkanlah fenomena ini dengan sikap Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—yang bersabda, Demi Dzat Yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri niscaya aku akan memotong tangannya.
B. Kondisi Sosial
- Menyucikan para Kisra Mereka meyakini bahwa di nadi para Kisra (raja-raja Persia) mengalir darah tuhan. Mereka berada di atas manusia dan di atas undang-undang, sehingga rakyat pun menyembah mereka. Karena itu, setiap orang yang menemui Kisra akan bersujud ke tanah, dan tidak akan berdiri sampai mendapat izin untuk berdiri.
- Masyarakat Persia berdiri di hadapan Kisra sesuai dengan kasta mereka. Manusia paling dekat dengan mereka adalah kasta para pendeta, para panglima, dan menteri-menteri. Mereka semua berdiri di hadapan Kisra dengan jarak 5 meter. Sementara orang yang kastanya lebih rendah dari mereka harus berdiri pada jarak 10 meter dari Kisra.
- Masyarakat Persia menyumbat mulut mereka dengan kain putih tipis apabila menghadap Kisra, supaya nafas mereka tidak mencemari sang paduka Kisra yang mulia.
Demikianlah yang mereka lakukan. Bandingkan dengan Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—yang apabila seseorang datang dan menjabat tangan beliau, beliau tidak akan melepaskan tangan beliau sampai orang itu sendiri yang melepaskan tangannya terlebih dahulu. Beliau tidak akan memalingkan wajah dari wajah orang itu sampai orang itu sendiri yang terlebih dahulu memalingkan wajahnya. Dan tidak pernah beliau terlihat menjulurkan kaki di hadapan teman duduk beliau, sebagai bentuk kerendahan hati beliau. Hal itu disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi dan Ibnu Mâjah dari Anas—Semoga Allah meridhainya.
- Kedudukan manusia di dalam masyarakat Persia tunduk di bawah aturan kasta-kasta sosial yang sangat ekstrem. Hal ini tentu saja merupakan kehinaan besar bagi harkat kemanusiaan. Masyarakat manusia di sana terbagi ke dalam tujuh kasta
Kasta para Kisra yang merupakan kasta tertinggi dan paling mulia;
Kasta para ningrat, yaitu tujuh keluarga mulia yang kemuliaannya tidak dapat berpindah kepada yang lain;
Kasta para tokoh agama;
Kasta para panglima pasukan dan ahli perang;
Kasta para cendikiawan, seperti para penulis, dokter, dan penyair (pujangga). Tidak heran jika kebodohan dan khurafat merajalela di tengah masyarakat karena para ilmuwan diletakkan pada kasta yang rendah;
Kasta para kepala desa dan pemungut pajak;
Kasta rakyat biasa. Jumlah mereka lebih dari 90% penduduk Persia. Mereka adalah para pekerja, petani, pedagang, prajurit, dan budak. Mereka tidak memiliki hak sama sekali, bahkan sampai harus diikat dengan rantai dalam peperangan. Pada saat perang Ubullah, peperangan pertama Umat Islam melawan Persia di bawah komando Panglima Khalid ibnul Walid—Semoga Allah meridhainya, terdapat 60 ribu pasukan persia yang diikat dengan rantai supaya mereka tidak lari dari peperangan. Setiap rantai mengikat sepuluh orang prajurit. Bagaimana mungkin para prajurit dengan rantai yang mengikat mereka itu mampu memerangi sebuah kaum yang disebut oleh Khalid ibnul Walid—Semoga Allah meridhainya—dalam suratnya kepada penguasa Ubullah Kami datang kepada kalian bersama orang-orang yang mencintai kematian sebagaimana kalian mencintai hidup.
C. Kondisi Politik
Raja-raja di Persia hanya berasal dari satu keluarga, yaitu keluarga Sasania. Jika tidak menemukan lelaki dewasa dari keluarga Sasania untuk diangkat sebagai raja, mereka akan mendaulat anak laki-laki yang masih kecil dari keluarga itu sebagai raja mereka, sebagaimana yang mereka lakukan terhadap Ardashir putra Sheroya yang baru berumur 7 tahun. Jika anak kecil juga tidak ada, mereka akan mengangkat seorang perempuan sebagai raja, sebagaimana mereka lakukan terhadap Borandukht putri Kisra.
D. Kondisi Keagamaan
Agama yang tersebar di Persia adalah penyembahan terhadap api, yaitu ajaran Zarathustra (Zoroaster) yang menyeru kepada penyucian api. Zoroaster mengatakan bahwa cahaya tuhan memacar dari segala yang bersinar dan menyala. Ia mengharamkan pekerjaan yang menggunakan api, sehingga ia hanya membolehkan pertanian dan perdagangan. Penulis buku Seratus Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia memasukkan Zoroaster sebagai salah satu tokoh yang paling berpengaruh di dunia. Penulis meletakkannya pada nomor 89, karena agama yang ia bawa masih bersifat lokal, sementara agama Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam—dan agama Isa—`Alaihis salâm—bersifat global (mendunia). Tentu saja ini merupakan standar penilaian yang sangat buruk, karena ia menyandingkan para nabi agung yang menerima wahyu dari Allah dengan para pendusta dan penipu yang membuat-buat agama lalu menjajakannya kepada orang banyak.
Oleh ketika api tidak dapat menurunkan wahyu berbentuk hukum dan bimbingan hidup kepada para penyembahnya, mereka pun menciptakan ajaran untuk diri mereka sendiri sesuai keinginan nafsu mereka, sehingga kerusakan pun merajalela di Persia dalam segala hal.
Sejarawan Perancis, Reno, berkata tentang kondisi Eropa sebelum Islam, Eropa pada zaman itu bergelimang aib dan dosa-dosa. Mereka lari dari kebersihan dan perhatian terhadap manusia dan lingkungan. Masyarakat penuh dengan kebodohan, kekacauan, dan keterbelakangan. Kezaliman dan penindasan merajalela. Buta huruf merebak di semua lapisan masyarakat.
Kebodohan sudah menjadi penyakit umum, bahkan menjadi sebuah kebanggaan. Para penguasa berbangga karena mereka tidak bisa membaca. Bandingkan hal ini dengan Agama yang kalimat wahyu pertamanya adalah Iqra' (bacalah).
Reno mengatakan bahwa Eropa adalah panggung bagi peperangan dan tindakan-tindakan biadab.
Sementara itu, Gustave Le Bon berkata dalam bukunya Peradaban Arab, Di Eropa, kecenderungan kepada ilmu belum muncul kecuali pada abad kesebelas dan kedua belas Masehi (yakni abad keempat dan kelima Hijriah). Yaitu ketika di tengah mereka muncul beberapa orang yang ingin mengangkat kafan kebodohan yang menyelimuti mereka, lalu mereka menghadapkan muka menuntut ilmu kepada Kaum Muslimin yang merupakan satu-satunya panglima keilmuan.
Seorang sejarawan Andalusia bernama Shâ`id (meninggal pada abad kelima Hijriah tahun 462 H. di Thulaithilah) menulis buku berjudul Thabaqâtul Umam yang menjelaskan kondisi negeri-negeri di zamannya. Ia menulis tentang negeri-negeri di bagian utara di Eropa (yaitu negara-negara Skandinavia Denmark, Swedia, Norwegia, dan Finlandia), Mereka lebih menyerupai binatang daripada manusia. Bisa jadi itu disebabkan oleh terlalu jauhnya matahari dari kepala mereka, sehingga temperamen mereka menjadi dingin, moral mereka bejat dan buruk, muka-muka mereka tertutup oleh rambut mereka, pemahaman yang baik tidak mereka miliki, mereka dikuasai oleh kebodohan dan kedunguan.
Tokoh pengembara dari Andalusia, Ibrahim Ath-Thurthûsyi, pernah bercerita tentang penduduk Galicia di utara Spanyol, bahwa mereka adalah manusia-manusia pengkhianat dan bermoral bejat, tidak pernah membersihkan diri atau mandi kecuali hanya sekali atau dua kali dalam setahun dengan air dingin. Mereka tidak mencuci pakaian mereka sejak pertama kali memakainya sampai lapuk di badan mereka. Mereka beranggapan bahwa kotoran badan mereka yang berasal dari tumpukan keringat berkhasiat untuk menyehatkan badan mereka. Saya tidak tahu bagaimana mereka mampu bertahan mencium bau diri mereka sendiri dan bau orang-orang di sekitar mereka. Ibrahim Ath-Thurthûsyi mengatakan bahwa pakaian-pakaian mereka sangat sempit dan berlubang, sehingga sebagian besar dari badan mereka tidak tertutup.
Bandingkan semua ini dengan Agama yang memerintahkan untuk berwudhuk lima kali dalam sehari, memerintahkan untuk mandi dari junub, serta mengharuskan mandi pada hari Jumat dan Hari-hari Raya. Agama yang bahkan memerintahkan untuk menghindari shalat jemaah bagi orang yang memakan bawang merah atau bawang putih, padahal shalat berjemaah merupakan salah satu ibadah yang paling mulia.
Al-Bakri (w. 487 H.), penulis kitab Al-Masâlik wal Mamâlik, bercerita tentang kondisi Rusia, Di sana, terdapat sebuah daerah bernama Autsân yang memiliki wilayah sangat luas. Tidak seorang pun yang tahu kondisi di dalamnya, karena setiap orang asing yang menginjakkan kaki di daerah itu selalu dibunuh.
Bandingkan hal ini dengan Islam yang datang persis pada masa itu. Islam berkata kepada Kaum Muslimin, seperti tercantum dalam firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya) Dan jika seorang di antara Kaum Musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan karena mereka kaum yang tidak mengetahui. [QS. At-Taubah 6]
Al-Bakri juga mengabarkan kepada kita tentang beberapa kelompok masyarakat Saqaliba yang mendiami kawasan Eropa Utara, Mereka mempunyai beberapa tradisi yang mirip dengan tradisi masyarakat India. Mereka membakar orang yang mati, lalu istri-istrinya datang memotong-motong tangan dan menyayat muka mereka sendiri dengan pisau. Bahkan istri yang sangat mencintai suaminya akan menggantung dirinya sendiri di hadapan orang banyak, dan setelah mati, jasadnya dibakar dan diletakkan bersama mayat suaminya.
Ibnu Fadhlân, salah satu tokoh pengembara muslim di abad keempat Hijriah, menceritakan apa yang ia saksikan sendiri tentang kematian seorang pemimpin di Eropa. Saat itu, orang-orang menggiring budak perempuan milik si pemimpin itu untuk turut mati bersamanya. Wanita itu kemudian meminum khamar, menari, dan melakukan ritual-ritual tertentu. Setelah itu, orang-orang mengikat lehernya, lalu datanglah seorang perempuan tua yang mereka sebut sebagai malaikat maut membawa belati besar di tangannya, lalu menusuk berkali-kali dada wanita tersebut, sementara kaum laki-laki mencekiknya dengan tali hingga mati. Setelah itu, mereka membakarnya bersama tuannya yang telah meninggal itu. Dan dengan perbuatan seperti ini, mereka mengira telah memberikan penghormatan yang selayaknya terhadap si tuan.
Bandingkan hal ini dengan ajaran Islam tentang hamba sahaya, supaya Anda lebih mengenal Agama Anda. Sebuah hadits diriwayatkan dari Abu Hurairah—Semoga Allah meridhainya, bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, Barang siapa menampar atau memukul budaknya maka kafarat (denda)-nya adalah memerdekakan budak itu. [HR. Muslim]
Baik perintah di atas mengandung arti wajib maupun sekedar anjuran, tetapi itu menunjukkan secara gamblang bagaimana pandangan Islam yang agung dalam berinteraksi dengan hamba sahaya. Bahkan dalam menyebut mereka pun, Islam demikian memperhatikan perasaan mereka. Sebuah hadits diriwayatkan dari Abu Hurairah—Semoga Allah meridhainya, bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian berkata 'Abdî (hamba laki-lakiku)', atau 'Amatî (hamba perempuanku)', karena kalian semua adalah hamba Allah, dan semua perempuan kalian adalah hamba perempuan Allah. Tetapi hendaklah ia berkata 'Ghulâmî (anak lelakiku)', atau 'Jâriyatî (anak perempuanku)', atau 'Fatâya (pemudaku)', atau 'Fatâtî (pemudiku)'. [HR. Muslim]