Short Description
Secara terminologis, peradaban didefinisikan dalam pengertian yang lebih khusus daripada pengertiannya secara bahasa,
Secara terminologis, peradaban didefinisikan dalam pengertian yang lebih khusus daripada pengertiannya secara bahasa, sesuai dengan aspek yang menjadi titik tekan dari kalangan yang memberikan definisi. Di antara para pemikir ada yang yang menyoroti peradaban dari aspek manusianya itu sendiri. Mereka menetapkan, apa yang diukir manusia dalam tatacara kehidupan, perilaku, dan interaksi antar sesama, itulah peradaban. Tak diragukan lagi, ini merupakan pendapat baik, menempatkan nilai manusia dan meninggikannya di atas nilai materi. Mereka memperhatikan segi pemikiran dan indra rasa secara bersamaan. Di antara mereka yang berpendapat seperti ini adalah Malik bin Nabi’,[1] salah seorang yang mendefinisikan peradaban dengan perkataannya,” peradaban adalah pencarian pemikiran dan ruhani.”[2]
Sayid Quthb[3] juga menguatkan definisi ini dengan menjelaskan, “Peradaban adalah apa yang diberikan manusia berupa bentuk-bentuk gambaran, pemahaman, konsep, dan nilai kebaikan untuk menuntun manusia.”[4] Sebelum keduanya ada Alexis Carrel[5] yang mendefinisikan peradaban dengan mengatakan, “Peradaban adalah pencarian atau pembahasan tentang akal dan ruh, ilmu-ilmu yang dipergunakan untuk mencapai kebahagiaan manusia, baik secara jiwa maupun akhlak manusia.”[6] Yang lebih mendekati definisi ini adalah ungkapan Gustave Le Bon[7] yang mengatakan, “peradaban adalah kematangan pemikiran dan metode dasar serta keyakinan, mengubah perasaan manusia menuju arah yang lebih baik.”[8] Semua definisi di atas menjelaskan seputar kepedulian manusia akan esensi dirinya, dan ruang lingkup tabiat pemikiran serta perilakunya.
Di antara para intelektual ada yang mendefinisikan bahwa peradaban adalah nilai-nilai yang dipergunakan manusia untuk membantu kehidupannya. Mereka tidak melihat esensi manusia seperti pendapat sebelumnya, tapi melihat apa yang dapat dinilai manusia dalam masyarakat. Mereka melihat pada sisi nilai dalam bentuk menyeluruh di setiap bidang. Mereka memperhatikan berbagai sisi menurut perhitungan dari sudut lain. Sebagaimana Dr Husain Mu’nist,[9] misalnya, berpendapat bahwa peradaban adalah buah atau hasil dari setiap kesungguhan yang dibangun manusia, untuk memperbaiki keadaan kehidupannya, baik kesungguhan itu menuai hasil untuk sampai pada buah dari tujuan tersebut maupun tidak. Baik hasil yang bersifat materi maupun maknawi.[10] Ia melihat dengan penglihatan universal pada kesungguhan manusia dan nilai-nilainya. Sementara Will Durrant,[11] mengkhususkan pada nilai-nilai manusia dalam tujuan peradaban dan pemikiran dan menjadikan aktualisasi kehidupan yang menunjukkan pada nilai tersebut. Dia mengatakan,” peradaban adalah aturan masyarakat yang menentukan manusia atas tambahan nilai peradabannya dengan empat unsure; ekonomi, politik, akidah yang diciptakan, disusul berbagai ilmu dan keahlian.”[12]
Di sisi lain, ada yang melihat peradaban dari sisi materi semata. Mereka menetapkan peradaban pada perkara yang berhubungan dengan kemewahan hidup dan memberikan kesenangan pada manusia serta kemudahan. Mereka tak melihat sisi peradaban yang ada di balik kedalaman hati manusia. Mereka tak melihat pada keyakinan pemikiran, tidak pula akhlak dan konsep-konsep. Mereka yang berpendapat seperti ini terdiri dari dua kelompok yang terlalu mendewakan materi, begitu mengingkari konsep-konsep dan nilai-nilai sebagai salah satu penggunaan dasar dalam meluruskan umat masyarakat. Merekalah pengagung Ladiniyah (tidak beragama, ateis), berpaham Komunis, dan Kapitalisme. Mereka menetapkan bahwa peradaban identik dengan masyarakat kota. Dr Ahmad Syalabi[13]menukil definisi mereka tentang masyarakat kota sebagai berikut, “Peradaban adalah hasil karya dalam bidang ilmu secara ilmiah dan percobaan, seperti kedokteran, arsitektur, kimia, pertanian, dan produksi serta penemuan yang bernilai.”[14]
Dari kelompok ini, mereka menenggelamkan atau tidak berpegang dan mengingkari nilai-nilai peradaban akhlak, seperti Friedrich Nietzsche,[15] dan sebagainya dari kalangan para filsafat. Mereka mengatakan, “Peradaban adalah ketetapan atas keseimbangan dan akhlak, meninggalkan tali kendali (ikatan) karena tabiat kita merdeka untuk melakukan apa yang diinginkan.” Meskipun hal demikian menyebabkan mereka berjalan menuju kebimbangan, dan sampai mereka mengatakan, “Akhlak menciptakan orang-orang lemah. Supaya dapat mengikat penguasa kuat, hendaklah kita memerangi akhlak.”[16]
Sedangkan kelompok lain dari kalangan materialisme sebagaimana dijelaskan dalam buku-bukunya, mereka tidak bermaksud meminimalkan peran akhlak tapi menetapkan peradaban menurut apa yang tampak semata, tak ada kaitannya sama sekali dengan perilaku manusia. Hal ini tampak jelas dikatakan oleh Ibnu Khaldun-misalnya – dia berpendapat,” Peradaban adalah keahlian dalam bidang kelapangan dunia, memperbaharui kondisinya, menemukan penciptaan-penciptaan yang mencengangkan[17] berupa temuan-temuan di berbagai keahlian; memasak, berpakaian, bangunan, kuda, tempat-tempat, berbagai macam bentuk hiasan rumah. Semua ini tentu saja harus merupakan temuan hasil penciptaan yang menakjubkan.”[18]
Tak diragukan lagi, Ibnu Khaldun bukan bermaksud menjauhkan sisi akhlak dan nilai peradaban, di mana akhlak dan nilai ditetapkan sebagai peringkat yang menentukan dalam bangunan suatu umat. Namun, sebagaimana telah kami sebutkan bahwa hal itu ditetapkan seperti bentuk lafazh (peradaban), yaitu lafazh yang hanya sekedar menyifati kehidupan yang ada, dan apa yang mengikuti perkembangannya.
Karena itu, sebagaimana telah kami sebutkan, terdapat banyak definisi tentang peradaban. Ini menunjukkan, perkara ini bukan suatu yang disepakati di antara para pemikir dan intelektual. Definisi ini dikembalikan kepada kalimat baru yang muncul kemudian. Definisi ini juga membawa makna berbeda-beda bagi setiap pemikir. Hal ini disebabkan karena merujuk pada perbedaan konsep dan ideologi pada beragamnya aliran pemikiran masing-masing. Setiap definisi itu saling bertentangan atau kadang saling melengkapi. Ini semua menjadikan istilah peradaban sebagai hal yang sulit didefinisikan dan membutuhkan daya pemikiran dari segenap kelompok dalam membahasnya.
[1] Malik bin Nabi’(1905-1973M). Intelektual asal Al-Jazair dan salah seorang intelektual kaum Muslimin abad kini. Menulis buku tentang peradaban dan pergerakan Islamiyah. Hidup di antara Paris, Kairo, dan Al- Jazair. Karyanya yang paling baik adalah syuruth An-Nahdhah. Zhahirul Quraniyah, Wijhatul Alam Al-Islami.
[2] Malik bin Nabi’, Syuruth An-Nahdhah, hal. 33.
[3] Sayyid Quthb (1906-1966 M ). Seorang penulis dan sastrawan serta intelektual Muslim yang mempunyai sumbangsih terbaik dalam bidang sastra dan pemikiran Islam serta dakwah. Allah memberikan pertolongan kepadanya untuk menyempurnakan karangannya yang dikenang sepanjang zaman, Fi Zhilalil Qur’an, meski dalam hidupnya dia diuji dengan berbagai musibah. Selain Zhilalil Qur’an, dia uga menulis buku berudul, Hadza Ad-Din dan Khashaish At-Tashawarul Islam dan Al-Mustaqbal li hadza Ad-Din, dan sebagainya.
[4] Sayyid Quthb, Al-Mustaqbal li Hadza Ad-Din, hal. 56.
[5] Alexis Carrel (1873-1944 M). Seorang dokter dan intelektual asal Perancis yang mendapatkan hadiah nobel dalam bidang kedokteran tahun 1912. Menimba ilmu di Perancis dan Amerika dan dikenal dengan karyanya berjudul Man the Unknown..
[6] Alexis Carrel, Man the Unknown, hal. 57.
[7] Gustae Le Bon (1841-1931 M)Orientalis asal Perancis. Mendirikan sekolah pendidikan khusus pada bidang ilmu jiwa (psikologi) dan sosiologi. Di antara karyanya yang terkenal adalah The Arab Civilization, yang dijadikan buku induk dan sumber rujukan pada masa kini di Eropa untuk meluruskan peradaban Arab Islam.
[8] Gustave Le Bon, The Spirit of the People, hal. 17.
[9] Husain Mu’nits (1911-1996 M). Dosen sejarah di Universitas Kairo, mantan anggota dewan perkumpulan bahasa arab, direktur ma’had pendidikan Islam di Madrid, dan bekerja beberapa lama sebagai Pemimpin Redaksi Hilal Al-Mashriyah. Ia mempunyai banyak tulisan dalam bidang sejarah, peradaban Arab dan Inggris, Perancis, dan Spanyol.
[10] Husain Mu’nist, Al-Hadharah, hlm 13.
[11] Will Durant (1885-1981M). Seorang sejarawan Amerika terkenal. Karyanya popularnya adalah The Story of Civilization, yang terdiri dari 42 jilid dan memuat sejarah awal mula peradaban sejak pertumbuhannya sampai masa kini.
[12] Will Durant, The Story of Civilization (19).
[13] Ahmad Syalabi adalah seorang sejarawan Mesir yang hebat pada masa kini. Alumnus Dar Al-Ulum, bekerja sebagai dosen di berbagai universitas di Mesir, Arab, dan dunia Islam lainnya. Di antara karyanya yang hebat adalah, Mausuah Tarikh Al-Islami (10 jilid) dan Mausuah Hadharah Islamiyah (sepuluh jilid).
[14] Ahmad Syalabi, Al-Hadharah Al-Islamiyah (220)
[15] Friedrich Nietzsche (1844-1900 M). Ahli filsafat Jerman, penyair, dan ilmuan klasik. Nietzsche juga seorang di antara ahli filsafat penting dalam dunia Barat yang mempunyai pengaruh dalam bidang filsafat dan tulisan-tulisan lainnya, dan salah seorang ahli dalam bidang ilmu jiwa di abad ke20 yang mempunyai pengaruh kuat. Di antara bukunya adalah, Also Sprach Zarathustra dan Beyond Good Devil.
[16] Andrew Christ, Problem of Behavior and Philosophy, hlm 32.
[17] Tuannaqa fi umurihi Keunggulan dan mendatangkan ketakjuban. Lihat Ibnu Manzhur, Lisan Al- Arab (910).
[18] Ibnu Khaldun, Al-Muqaddimah (2879).