Short Description
“Sungguh Muhammad telah berjuang membebaskan perempuan, dan dia telah memberikan contoh teladan dalam hal ini.” Boutros Gali
“Sungguh Muhammad telah berjuang membebaskan perempuan, dan dia telah memberikan contoh teladan dalam hal ini.” Boutros Gali[1]
“Sepertiga kaum wanita di dunia merasakan kekerasan rumah tangga dalam hidupnya. Hal ini dialami oleh empat juta wanita Jerman dan empat juta istri di AS setiap tahunnya.” Frederico Mayor[2]
Seperti itulah kondisinya, namun Islam menampilkan sesuatu yang berbeda.
Wanita tentu memiliki kelemahan, tapi itu bukan sesuatu yang buruk. Dari satu sisi mereka tidak menginginkan demikian, namun di sisi lain malah terpuji dan menguntungkan. Sisi yang pertama adalah kelemahan fisik dan ini bukan sesuatu yang tercela. Sisi kedua adalah lemah hati dan perasaan, dan tentu saja ini adalah hal terpuji. Semakin bertambah perasaan ini—tanpa berlebihan—akan semakin baik.
Rasulullah menghargai kelemahan yang ada pada wanita ini, berusaha untuk menjaga mereka dari segala gangguan fisik ataupun non fisik, serta menunjukkan kasih sayangnya kepada mereka dengan beragam cara dan dalam banyak kondisi.
Rasulullah selalu bersabda kepada para shahabat beliau, ”Pergaulilah wanita dengan baik.”[3] Nasihat ini banyak berulang ketika hujjatul wada’, ketika beliau berkhutbah di hadapan ribuan umatnya. Rasulullah yakin bahwa nasihat ini sangat penting sehingga menjadikannya sebagai bagian khusus dari khutbahnya pada saat itu.
Rasululluh bersabda pada hari itu
وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ
“Pergaulilah wanita dengan baik, sesungguhnya mereka adalah tawanan[4] bagimu.”[5]
Rasulullah mengumpamakan mereka seperti tawanan, sebab kepemimpinan itu ada di tangan laki-laki. Putusan talak juga berada di tangan laki-laki. Adanya kekuatan pada laki-laki dan kelemahan pada perempuan sering membawanya kepada sebuah kondisi yang sulit. Oleh karena itu, Rasulullah ingin menumbuhkan kasih sayang laki-laki kepada mereka dengan sabda beliau
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي
“Orang yang paling baik di antara kalian ialah orang yang paling baik terhadap keluarganya, dan akulah yang paling baik kepada keluargaku.”[6]
Dalam sebuah kalimat yang indah Rasulullah menyamakan antara kedudukan laki-laki dan perempuan tanpa mengurangi kedudukan mereka sebagai perempuan. Beliau bersabda
إِنَّ النِّسَاءَ شَقَائِقُ الرِّجَالِ
“Sesungguhnya perempuan adalah saudara kandung laki-laki.”[7]
Ibnul Atsir berkata, “Saudara kandung laki-laki artinya bahwa perempuan itu setara dan setingkat dengan mereka.”
Rasulullah menyuruh kaum muslimin untuk tidak membenci perempuan walaupun ada tabiat yang kurang baik pada diri mereka. Beliau bersabda
لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ
”Janganlah seorang mukmin benci kepada seorang mukminah. Apabila ada perilaku yang dia tidak senangi darinya, maka ada bagian lainnya yang dia sukai.”[8]
Tentu beliau memahami hal ini dari firman Allah SWT (yang artinya)
... Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (An-Nisa 19).
Yang paling perlu diperhatikan adalah bagaimana beliau mempraktekkannya dalam kehidupan. Kalimat-kalimat beliau yang indah tidak hanya memberikan ketenangan pada perasaan atau sekadar basa-basi tak bermakna. Kalimat ini benar-benar terwujud nyata dalam keseharian di rumah beliau dan para shahabat.
Kami berani menantang dunia untuk coba memberikan satu contoh sikap Rasul yang menyakiti hati perempuan, baik itu dari istri-istri beliau, perempuan-perempuan muslimah, atau bahkan wanita-wanita musyrik. Pasti tidak akan ditemukan! Cukuplah kami menyajikan beberapa sikap beliau kepada perempuan—walaupun tanpa komentar—agar kita mengetahui bagaimana kasih sayang beliau kepada mereka.
Suatu saat Abu Bakar meminta izin untuk masuk ke rumah Rasulullah saw. Tiba-tiba beliau mendengar Aisyah, anaknya, bersuara dengan keras. Beliau masuk dan hendak menampar Aisyah. “Aku tidak ingin melihat kamu bersuara keras di depan Rasulullah,” nasihatnya. Rasulullah langsung menghalanginya. Abu Bakar pun keluar dalam keadaan marah. Rasulullah lalu bersabda, “Bagaimana pendapatmu terhadapku Aku telah menyelamatkan dirimu dari kemarahan ayahmu.” Abu Bakar tidak datang selama beberapa hari, kemudian kembali berkunjung ke rumah Rasulullah. Dia mendapati keduanya sudah berbaikan. Abu Bakar bersabda, “Izinkan aku masuk dalam damai kalian sebagaimana kalian telah mengizinkan aku masuk ketika kalian dalam perselisihan.” Nabi bersabda, “Sudah kami lakukan, sudah kami lakukan.”[9]
Di sini terlihat bahwa kasih sayang Rasulullah melebihi kasih sayang seorang bapak. Dalam kisah ini, ayah Aisyah, Abu Bakar Ash-Shiddiq, ingin menghukumnya atas kesalahannya, namun Rasulullah menghalanginya.
Terkadang istri beliau melakukan kesalahan yang besar di depan umum, yang menyebabkan kekesalan di hati beliau. Namun beliau tetap memahami kondisinya, memaklumi kelemahannya, dan memaafkan kecemburuannya. Beliau tidak bereaksi atau melanggar batas. Beliau tetap bersikap lunak dan memaafkan.
Anas bin Malik meriwayatkan bahwa ketika Rasulullah berada di rumah salah seorang istri beliau, tiba-tiba ada istri beliau yang lain mengirimkan makanan. Sang istri ini langsung memukul tangan Rasulullah hingga makanannya jatuh dan nampannya terbelah dua. Rasulullah menyambungkan kembali nampan ini dan mengumpulkan makanan. Beliau bersabda, “Ibu kalian (Ummul Mukminin) sedang cemburu. Makanlah!” Mereka pun makan. Beliau menahan piring itu sampai Aisyah datang membawa piring lain yang utuh dari kamarnya. Lalu Aisyah menyerahkan piring yang masih bagus itu ke Rasulullah saw. Dan beliau pun meninggalkan piring yang pecah di tempat orang yang memecahnya (Aisyah r.a).”[10]
Rasulullah melewati kondisi ini dengan mudah. Beliau mengumpulkan makanan yang terjatuh dan bersabda kepada para tamunya, “Makanlah.” Beliau menerangkan bahwa penyebab marahnya adalah rasa cemburu, tanpa lupa mengangkat derajatnya. “Ibu kalian sedang cemburu,” kata beliau. Ibu kalian berarti Ummul Mukminin.
Alangkah besarnya kasih sayang yang ada di hati beliau.
Sebelumnya telah kami sebutkan bahwa kasih sayang beliau kepada anak yatim sangat agung. Begitu pula kasih sayang beliau kepada janda.
Rasulullah mengangkat derajat orang-orang yang memperhatikan urusan para janda sampai pada derajat yang tak seorang pun dapat membayangkannya. Beliau bersabda
السَّاعِي عَلَى اْلأَرْمَلَةِ وَالْمِسْكِينِ كَالْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللهِ أَوْ الْقَائِمِ اللَّيْلَ الصَّائِمِ النَّهَارَ
“Orang yang mengurusi janda dan orang miskin seperti mujahid di jalan Allah atau orang yang shalat sunat di malam hari dan berpuasa di siang hari.”[11]
Sungguh, alangkah agungnya!
Rasulullah adalah orang yang paling cepat mengamalkan apa yang beliau ucapkan. Abdullah bin Abi Aufa menuturkan bahwa Nabi Muhammad saw tidak menolak berjalan bersama janda dan orang-orang miskin untuk menunaikan keperluan mereka.[12]
Ada yang lebih menakjubkan dari hal itu, yaitu kecintaan beliau kepada budak-budak perempuan. Anas bin Malik menuturkan, “Sungguh ada seorang budak perempuan di Madinah yang memegang tangan Rasulullah dan membawanya kemana dia suka.”[13]
Ibnu Hajar memberikan komentar atas hal ini. Ia berkata, “Adanya ungkapan akhdzul yad (memegang tangan) menunjukkan tingginya pelayanan beliau, walaupun keperluannya berada di luar kota. Ia akan meminta bantuan beliau atas hal ini. Ini menunjukkan akan ketawadhuan beliau dan terlepasnya beliau dari segala bentuk kesombongan.”[14]
Sekarang kita bertanya...
Adakah penduduk bumi ini mendengar seorang pimpinan negara atau pimpinan sebuah umat pergi kesana kemari untuk menunaikan keperluan seorang budak perempuan yang tidak memiliki apa-apa
Apa yang kita lihat dari Rasulullah ini menjadi dalil yang sangat kuat akan kenabian beliau. Akhlak yang sangat mulia ini tidak akan muncul kecuali dari seorang nabi.
Benarlah firman Allah (yang artinya)
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam. (Al-Anbiyâ’ 107).
[1] Pemikir Kristen Mesir.
[2] Alam Jadid, hal. 137.
[3] HR Bukhari (4890), Muslim (1468).
[4] Makna 'Awân adalah bentuk jamak dari Al-'Âni yang berarti tawanan, diumpamakan dengan ini karena ketundukan dan kepatuhannya. Lihat Tuhfatul Ahwadzi VII411.
[5] HR Tirmidzi (1163), Ibnu Majah (1851), dan Ahmad (20714), Al-Albani menyatakan hadits ini hasan.
[6] HR Tirmidzi (3895), Ibnu Majah (1977), Ibnu Hibban (4177), dan Thabrani (853). Al-Albani menyatakan hadits ini shahih dalam Shahîh Al-Jâmi' (3314).
[7] HR Tirmidzi (113), Abu Dawud (236), Ahmad (26238), dan Abu Ya’la (4694). Al-Albani menyatakan hadits ini shahih dalam Shahîh Al-Jâmi' (1983).
[8] HR Muslim (1469), Abu Ya’la (6418), dan Baihaqi (14504).
[9] HR Abu Dawud (4999), Nasa’i (8495), dan Ahmad (18418).
[10] HR Bukhari V2003, Nasa’i VII70, Ibnu Majah VII321, dan Ahmad III105.
[11] HR Al-Bukhari (5028), Muslim (2982), Tirmidzi (1969), Nasa’i (2577), Ibnu Majah (2149), dan Ahmad (8718).
[12] HR Nasa’i (1414), Ibnu Hibban (6424), Thabrani (405). Hadits ini dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahîh Sunan Nasa'i III108.
[13] HR Bukhari (5724), Abu Dawud (4818), dan Ibnu Majah (4177).
[14] Fathul Bâri, 10490.