Short Description
“Tiadalah Muhammad dituju oleh seorang fakir atau yang memerlukan kecuali ia mendapatkan apa yang diinginkannya pada Muhammad”
“Tiadalah Muhammad dituju oleh seorang fakir atau yang memerlukan kecuali ia mendapatkan apa yang diinginkannya pada Muhammad”
“Ditemukan lebih dari 1.100.000.000 orang di seluruh dunia berjuang untuk hidup. Paling sedikit untuk mencari satu dollar AS setiap hari pada tahun 2001.” (Laporan Kondisi Sosial PBB tahun 2005. Dimuat di httpdaccessdds.un.org).
Rasulullah lebih khawatir kepada kekayaan yang menimpa umatnya daripada kemiskinan, sampai-sampai beliau menyatakan
فَوَاللهِ مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنِّي أَخْشَى أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمْ الدُّنْيَا
”Demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku takutkan akan menimpamu, namun yang aku takuti ketika dunia dihamparkan kepadamu.”[1] Meskipun demikian, beliau mengetahui bahwa kefakiran dapat menyebabkan kekufuran. Oleh karena itu beliau berlindung dari kefakiran dalam doanya
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْكُفْرِ وَالْفَقْرِ...
”Ya Allah saya berlindung kepadamu dari kekafiran dan kemiskinan.[2]
Dalam doanya beliau juga memohon
اقْضِ عَنَّا الدَّيْنَ، وَأَغْنِنَا مِنْ الْفَقْرِ
“Lunasilah hutang kami dan cukupkanlah kami dari kefakiran.”[3]
Karena kepekaan beliau kepada krisis kefakiran dan dampaknya pada kelemahan, hati beliau bergerak kepada orang-orang fakir. Padahal beliau sendiri hidup sebagai bagian dari mereka. Aisyah berkata
مَا شَبِعَ آلُ مُحَمَّدٍ r مِنْ طَعَامٍ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ حَتَّى قُبِضَ.
“Keluarga Muhammad saw tidak pernah kenyang dengan makanan lebih dari tiga hari hingga beliau saw berpulang ke rahmatullah.”[4]
Kasih sayang beliau mencakup seluruh orang fakir, sampai beliau—dengan kondisi yang fakir juga—memberikan segala sesuatu yang bisa diberikan dan menyuruh shahabat serta umatnya untuk menyayangi kaum fakir. Lihatlah kalimat-kalimat yang menjelaskan kelembutan dan kasih sayang ini
يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ أَنْ تَبْذُلَ الْفَضْلَ خَيْرٌ لَكَ، وَأَنْ تُمْسِكَهُ شَرٌّ لَكَ، وَلاَ تُلاَمُ عَلَى كَفَافٍ، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ، وَالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى.
“Wahai Bani Adam, engkau menebar keutamaan itu lebih baik bagimu dan menahannya adalah buruk bagimu. Engkau tidak dicela karena menjaga diri. Mulailah dengan yang berada di bawah tanggunganmu. Dan, tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah.”[5]
مَا أُحِبُّ أَنَّ أُحُدًا لِي ذَهَبًا، يَأْتِي عَلَيَّ لَيْلَةٌ أَوْ ثَلاَثٌ عِنْدِي مِنْهُ دِينَارٌ إِلاَّ أَرْصُدُهُ لِدَيْنٍ، إِلاَّ أَنْ أَقُولَ بِهِ فِي عِبَادِ اللهِ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا.
“Aku tidak suka mempunyai emas sebesar gunung Uhud. Cukuplah aku punya satu dinar dalam sehari atau tiga hari, kecuali jika untuk keperluan membayar hutang. (Dan) jika aku gunakan uang itu untuk menyantuni hamba Allah yang ini sekian dan yang itu sekian (beliau menunjuk sebelah kanan, kiri, dan sebelah depannya).”[6]
Alangkah banyaknya ungkapan beliau yang membicarakan seputar masalah ini.
Masyarakat Madinah pada umumnya adalah orang fakir. Menyebutkan seluruh kisah kasih sayang beliau kepada orang-orang fakir adalah sesuatu yang tidak mungkin dilakukan. Kita hanya mencoba melakukan pendekatan. Kita sekadar memberikan contoh. Siapa yang ingin lebih mendalaminya silakan merujuk kembali kepada kitab-kitab hadits.
Lihatlah sabda Rasulullah saw ketika mengajari Abu Dzar—padahal Abu Dzar sendiri fakir
يَا أَبَا ذَرٍّ، إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَةً فَأَكْثِرْ مَاءَهَا، وَتَعَاهَدْ جِيرَانَكَ
“Wahai Abu Dzar, apabila engkau memasak masakan berkuah, perbanyaklah airnya dan berbagilah dengan tetanggamu.”[7]
Beliau juga menyuruh kaum wanita untuk bersedekah kepada tetangga mereka walaupun sedikit. Beliau bersabda
يَا نِسَاءَ الْمُسْلِمَاتِ، لاَ تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ
“Wahai para wanita muslimah, janganlah seorang tetangga meremehkan tetangganya walau hanya memberinya sepotong kikil kambing.”[8]
Beliau ingin perasaan kasih sayang ini menyebar di Madinah dan di kalangan umatnya. Beliau ingin setiap orang memperhatikan orang yang ada di sekitarnya dan berusaha meringankan penderitaannya semampunya.
Saat perang Ahzab, Jabir bin Abdullah mengundang Rasulullah untuk menyantap sedikit jamuan makan di rumahnya. Ketika itu Rasulullah enggan pergi sendiri—padahal beliau sangat lapar. Beliau meminta seluruh kaum Muhajirin dan Anshar untuk menemani beliau. Sebuah mukjizat, makanan yang sedikit ternyata bisa mencukupi seluruhnya. Beliau tidak ingin kenyang sendiri sedangkan rakyatnya lapar.[9]
Jabir bin Abdullah bercerita, “Sekelompok orang Badui yang memakai wol mendatangi Rasulullah. Rasulullah melihat kondisi mereka yang buruk dan sangat kekurangan. Beliau lalu mendorong orang-orang untuk bersedekah. Namun, mereka berlambat-lambat sampai kelihatan sedikit kekesalan di wajah beliau. Kemudian datanglah seorang Anshar dan yang lainnya secara berturut-turut untuk memberikan sedekah. Hingga tampaklah kegembiraan dari wajah beliau. Rasulullah bersabda
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً؛ فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً؛ كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ.
‘Siapa yang memulai perbuatan yang baik dalam Islam maka baginya pahalanya dan pahala orang yang melakukan setelahnya tanpa dikurangi sedikit pun dari pahala mereka. Dan barangsiapa yang memulai perbuatan yang buruk dalam Islam maka baginya dosanya dan dosa orang yang melakukan setelahnya, tanpa dikurangi sedikit pun dari dosa mereka’.”[10]
Rasulullah sendiri berusaha untuk memberi apa yang beliau punyai. Bila beliau tidak punya sesuatu, beliau tetap berusaha untuk memberi solusi atas permasalahan yang menimpa walaupun harus meminta kepada para shahabatnya. Yang jelas, beliau tidak pernah meninggalkan seorang fakir tanpa pertolongan.
Abu Hurairah bercerita, “Seorang laki-laki mendatangi Rasulullah saw dan berkata, ‘Saya dalam kesulitan.’ Rasulullah menyuruhnya untuk menemui istri-istri beliau. Sang istri berkata, 'Demi yang mengutusmu dengan kebenaran wahai Rasulullah, saya tidak punya apa-apa selain air.' Beliau menyuruh untuk menemui istri beliau yang lain dan jawabannya tetap sama. Seluruh istri beliau menjawab dengan jawaban yang sama, 'Demi yang mengutusmu dengan kebenaran wahai Rasulullah, saya tidak punya apa-apa selain air.'
Beliau bersabda, ‘Siapa yang mau menjamu tamu ini malam ini akan dirahmati oleh Allah.’ Maka berdirilah seorang shahabat dari Anshar. Ia berkata, 'Saya wahai Rasulullah.' Laki-laki itu pun pergi bersama seorang shahabat dari Anshar tadi. Shahabat ini bertanya kepada istrinya, 'Apakah kita punya sesuatu' Istrinya menjawab, 'Tidak ada selain makanan anak-anak.'
'Bujuklah mereka dengan sesuatu. Apabila tamu kita sudah masuk, matikanlah lampu dan bersikaplah seakan-akan kita makan. Apabila dia ingin makan segeralah berdiri untuk mematikan lampu,' perintah sang shahabat kepada istrinya.
Maka duduklah mereka dan tamu pun makan. Ketika pagi hari, shahabat ini menjumpai Rasulullah saw dan beliau bersabda
قَدْ عَجِبَ اللهُ مِنْ صَنِيْعِكُمَا بِضَيْفِكُمَا اللَّيْلَةَ.
'Sungguh Allah takjub dengan apa yang kalian berdua lakukan dengan tamu kalian semalam'.”[11]
Kasih sayang ini telah menyebar di kota Madinah hingga kejadiannya seakan-akan menjadi semacam mimpi dan kisahnya seperti khayalan.
Walaupun beliau berada dalam kesusahan dan sangat membutuhkan namun beliau selamanya tidak pernah berhenti melakukannya.
Sahal bin Sa’ad bercerita, “Seorang perempuan datang kepada Rasulullah dengan sebuah selimut yang sudah ditenun. Beliau bertanya, ‘Tahukah kamu selimut apa ini’ Mereka menjawab, ‘Iya, ini adalah jenis selimut syamlah.’ Rasulullah saw bersabda, ‘Iya benar.’ Perempuan ini berkata, ‘Aku menenunnya untuk engkau pakai, wahai Rasulullah.’ Rasulullah mengambilnya seakan beliau memerlukannya. Beliau keluar kepada kami dan menjadikan burdah itu sebagai sarungnya. Seorang laki-laki memujinya dan berkata, ‘Berikanlah kepadaku, alangkah bagusnya!’ Orang-orang berkata, ‘Engkau tidak boleh begitu. Burdah itu dipakai oleh Nabi dan beliau membutuhkannya. Engkau malah memintanya dan engkau tahu bahwa beliau tidak menolak permintaan.’ Laki-laki ini berkata, ‘Demi Allah, saya tidak memintanya untuk saya pakai. Saya memintanya semata-mata agar ia bisa menjadi kain kafan saya’.”
“Dan akhirnya kain itu dijadikan sabagai kafannya,” sambung Sahal.[12]
Rasulullah selalu berpandangan bahwa apa yang beliau berikan lebih baik dari yang beliau miliki. Oleh karena itu, beliau selalu memberi. Alangkah indahnya jawaban Rasulullah kepada Ummul Mukminin Aisyah ketika mereka menyembelih kambing dan membagikan sebagian besar dagingnya. Ummul Mukminin berkata kepada beliau, “Tidak ada lagi yang tersisa kecuali bahunya. Beliau menjawab dengan pemahaman yang mendalam, “Justru semuanya masih ada (sudah ada pahalanya) kecuali lengannya.[13]
Demikianlah kehidupan beliau dan kasih sayang beliau kepada manusia. Saya ingin mengakhiri pembahasan in dengan mengisahkan salah satu sikap beliau yang mempunyai dalil yang lebih spesifik. Tidak semestinya dipahami bahwa dari kesukaan beliau untuk memberi dan dorongan beliau kepada para shahabatnya untuk bersedekah menunjukkan beliau ingin seorang fakir akan fakir sepanjang masa, atau terbiasa menadahkan tangannya untuk meminta. Beliau bahkan berusaha untuk menekankan pentingnya bekerja dan berusaha kepada kaum fakir, agar diri mereka dapat memenuhi kebutuhan mereka sendiri dan dapat menikmati keindahan memberi, daripada merasakan kehinaan meminta-minta.
Anas bin Malik menuturkan bahwa seorang laki-laki dari kaum Anshar datang meminta-minta kepada Nabi. Beliau bersabda, “Apakah di rumahmu ada sesuatu” “Ada wahai Rasulullah,” jawabnya, ”Saya punya alas pelana yang saya gunakan dan satu lagi saya hamparkan.”
“Coba bawa ke sini” sabda Rasulullah. Laki-laki ini kemudian membawa dua barang tersebut kepada Rasulullah. Rasullah saw mengambilnya dan bersabda, “Siapa yang mau membeli ini” Seorang laki-laki berkata, “Saya mau mengambilnya dengan harga satu dirham.” Beliau bersabda lagi, “Adakah yang mau mengambilnya lebih dari satu dirham. Dengan dua atau tiga dirham begitu.” Maka berkatalah seorang laki-laki yang lain, “Saya mengambilnya dengan dua dirham.” Beliau memberikan barang tersebut kepadanya lalu mengambil uang dua dirham tadi dan menyerahkannya kepada orang Anshar ini. Beliau saw bersabda, “Belilah makanan dengan satu dirham dan berikan kepada keluargamu. Sementara satu dirham sisanya belikan kapak dan bawa ke sini.” Sejurus kemudian orang Anshar ini datang kepada Rasulullah dengan membawa kapak. Rasulullah membuatkan gagang kapak tersebut dan bersabda, “Pergilah. Carilah kayu bakar dan jual. Aku tidak ingin melihatmu lima belas hari ke depan.
Maka pergilah orang ini mencari kayu bakar dan menjualnya. Kemudian kembali kepada Rasulullah dan telah memperoleh sepuluh dirham. Sebagiannya dibelikan baju dan sebagian lainnya dibelikan makanan. Rasulullah bersabda kepadanya
هَذَا خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ تَجِيءَ الْمَسْأَلَةُ نُكْتَةً فِي وَجْهِكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لاَ تَصْلُحُ إِلاَّ لِثَلاَثَةٍ لِذِي فَقْرٍ مُدْقِعٍ أَوْ لِذِي غُرْمٍ مُفْظِعٍ أَوْ لِذِي دَمٍ مُوجِعٍ.
“Ini lebih baik bagimu daripada nanti pada hari kiamat akan ada tanda di wajahmu akibat meminta-minta. Sesungguhnya meminta-minta itu tidak baik kecuali kepada tiga orang orang yang sangat fakir, orang yang banyak utang, atau orang yang memiliki tanggungan membayar diyat (denda sebagai ganti qishash).”[14]
Kasih sayang Rasulullah saw kepada orang fakir adalah kasih sayang yang bermanfaat dan mendorong kepada kebaikan. Tujuannya adalah untuk membahagiakan mereka dengan kebahagiaan yang sebenarnya, tanpa ada kepalsuan. Kasih sayang yang tidak sekadar mencukupi mereka semata, tapi juga mengajar mereka, mengangkat kepercayaan diri dan membawa mereka sukses dunia-akhirat. Satu kesatuan yang menakjubkan. Hal ini tidak akan kita dapati di dunia ini melainkan pada seorang nabi. Benarlah firman Allah (yang artinya)
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam. (Al-Anbiyâ’ 107).
[1] HR Bukhari (3791), Muslim (2961), Tirmidzi (2462), Ibnu Majah (3997), Ahmad (17273).
[2] HR Abu Dawud (5090), Nasa’i (5485), Ahmad (20397), Ibnu Khuzaimah (747), dan Ibnu Hibban (1026). Al-Albani menyatakan bahwa sanadnya hasan.
[3] HR Muslim (2713), Ibnu Majah (3831), Ahmad (9236), dan Ibnu Hibban (966).
[4] HR Bukhari (5059), Muslim (2976), Ahmad (24709), dan Ibnu Hibban (6345).
[5] HR Muslim (1037) dan Tirmidzi (2343).
[6] HR Bukhari (5913), Muslim (94), dan Ibnu Hibban (170).
[7] HR Muslim (2625), Ibnu Majah (3362), Ahmad (21465), Ibnu Hibban (514), Ad-Darimi (2079).
[8] HR Bukhari (2427), Muslim (1030), Ahmad (7581), Ad-Darimi (1672).
[9] Lihat Shahîh Bukhari (3876) dan Shahîh Muslim (2039).
[10] HR Muslim (1017), Nasa’i (2554), Ahmad (19197), dan Ibnu Hibban (3308).
[11] HR Muslim (2054), Ibnu Hibban (5286), At-Thabarani (6342), dan Abu Ya’la (6168).
[12] HR Bukhari (1218), Nasa’i (9659), Ibnu Majah (3555), dan Ahmad (22876).
[13] HR Tirmidzi (2470), Al-Hakim (7193). Al-Albani menyatakan bahwa hadits ini shahih.
[14] HR Abu Dawud (1641) dan Ibnu Majah (2198).