Short Description
Setiap manusia tak dapat lari dari kesalahan dan ini sudah menjadi tabiatnya. Rasulullah saw menyatakan hal itu dengan jelas
Setiap manusia tak dapat lari dari kesalahan dan ini sudah menjadi tabiatnya. Rasulullah saw menyatakan hal itu dengan jelas
كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ.
“Setiap anak cucu Adam melakukan kesalahan dan sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan ialah yang bertaubat”[1]
Tidak ada pengecualian dalam kaidah ini selain para Nabi a.s. Karena kesalahan itu dapat terjadi pada semua orang, maka diperlukan sebuah metode yang tetap dalam syariat ini untuk menghadapi kesalahan umat.
Sepanjang sejarah, generasi shahabat adalah generasi terbaik. Ini bukan pernyataan pribadi kami, tapi hal ini berdasarkan kesaksian Nabi Muhammad saw
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ...
“Sebaik-baik masa adalah masaku, kemudian masa setelah itu, kemudian masa setelahnya...”[2]
Bahkan Allah sendiri menyatakan hal ini dalam beberapa ayat Al-Qur’an. Dalam surat Al-Fath ayat 29 dijelaskan, “ Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengannya adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.”
Hal ini tidak berarti bahwa para shahabat bukan manusia lagi, atau hukum manusia tidak berlaku lagi kepada mereka, seperti adanya kesempatan untuk berbuat salah. Benar bahwa kuantitas dosa mereka kecil. Benar bahwa kesalahan mereka tenggelam dalam lautan kebaikan mereka. Namun pada akhirnya kesalahan itu tetap ada. Rasulullah punya metode jelas dalam usaha menyelesaikannya. Metode ini bisa disimpulkan dalam satu kata, “Kasih sayang.”
Orang mungkin akan heran ketika diberitahu bahwa ternyata metode untuk menyelesaikan kesalahan adalah kasih sayang. Karena yang segera terbayang dalam benak kita ketika berbicara tentang kesalahan adalah hukuman. Walaupun kondisinya tidak selamanya seperti itu. Banyak kesalahan yang bisa diselesaikan dengan senyuman, petunjuk, dan nasehat sebelum hukuman atau kekerasan.
Bahkan ketika terpaksa menghukum, seperti hukuman yang berkaitan hudud, Rasulullah menerapkannya dengan penuh kasih sayang. Sampai hukuman yang berujung pembunuhan atau rajam, Anda akan melihat ada bentuk kasih sayang yang luar biasa. Insyaallah kami akan menampilkan beberapa bentuk kasih sayang ini, mulai dari kasih sayang beliau kepada orang-orang bodoh, kepada orang-orang yang berdosa, dan kepada orang-orang yang melakukan kesalahan kepada beliau.
Kebodohan adalah sifat buruk yang umumnya disebutkan dalam Al-Qur’an untuk mencela. Nabi Musa berlindung dari sifat ini, seperti dikisahkan oleh Allah dalam firman-Nya
“Musa berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang bodoh’.” (Al-Baqarah 67).
Betapapun tercelanya sifat ini, namun semua manusia memilikinya. Mereka mengetahui beberapa hal, namun tidak tahu beberapa hal lainnya. Bahkan banyak ulama yang berpengetahuan luas dalam satu bidang tertentu namun tidak tahu bidang lainnya. Orang bodoh yang dicela adalah orang bodoh yang tidak mau berusaha menuntut ilmu. Orang bodoh adalah orang yang tidak mengetahui apa yang sudah sangat terkenal dan tersebar luas di kalangan manusia. Para ahli fiqih mengungkapkan, “Orang yang tidak tahu sesuatu yang harus diketahui dalam masalah agama.”
Bentuk yang terakhir ini—tidak mengetahui sesuatu yang sudah tersebar luas—yang menjadi pembahasan kita kali ini. Kalau tidak dibatasi seperti itu, semua manusia adalah bodoh, atau paling tidak pernah bodoh dalam kehidupannya kemudian dia masuk ke fase pembelajaran.
Islam merupakan agama yang baru di kalangan bangsa arab saat Rasulullah diutus. Orang yang tidak tahu tentang hukum Islam pada waktu itu banyak yang datang kepada beliau. Walaupun jumlahnya sangat banyak, Rasulullah tidak kehilangan ketenangan dan kelembutan. Bahkan dalam segala kondisi beliau menghadapinya dengan penuh kasih sayang.
Mua’wiyah Ibnul Hakam As-Sulami berkata, “Ketika aku shalat bersama Rasulullah, ada seorang jamaah yang tiba-tiba bersin. Aku pun mengucapkan, ‘Yarhamukallah.’ Orang-orang memandangiku dengan tajam. Aku berkata, 'Kenapa kalian memandangiku seperti itu' Mereka lalu memukulkan tangan mereka ke paha. Ketika aku melihat bahwa mereka berusaha mendiamkanku, aku pun diam. Seusai shalat, demi ayah dan ibuku, tidak pernah aku mendapati seorang sebelum dan sesudah beliau yang pengajarannya lebih baik dari beliau. Demi Allah, beliau tidak membentak, memukul, atau mencaciku. Beliau hanya berkata
إِنَّ هَذِهِ الصَّلاَةَ لاَ يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلاَمِ النَّاسِ إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ.
'Sesungguhnya shalat ini tidak boleh di dalamnya suatu perkataan. Shalat itu hanya terdiri tasbih, takbir, dan bacaan Al-Qur’an'.”[3]
Dari peristiwa ini kita bisa melihat kasih sayang Rasulullah kepada Mu’awiyah Ibnul Hakam yang tidak tahu tentang shalat. Kasih sayang ini menarik perhatian Mu’awiyah hingga ia menyebutkanya dan mengomentarinya, “Demi ayah dan ibuku, tidak pernah aku mendapati seorang sebelum dan sesudah beliau yang pengajarannya lebih baik dari beliau.”
Mu’awiyah seakan-akan menyangka akan mendapatkan teguran keras dari Rasulullah, sebab ia sendiri melihat reaksi orang-orang shalat di sekitarnya dan usaha mereka untuk mendiamkannya. Mu’awiyah berkata dengan gembira, “Beliau tidak membentak, memukul, atau mencaciku,” seakan-akan hal itulah yang akan terjadi padanya. Namun Rasulullah tidak pernah bereaksi dengan ucapan yang buruk dan tidak pernah menyakiti seseorang.
Dalam kesempatan lain, Rasulullah melihat sesuatu yang biasanya akan membuat seseorang marah, namun beliau bisa menghadapinya dengan tenang dan lembut. Kelembutan yang tidak ada seorang pun dapat menyamainya.
Peristiwa ini diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah. “Rasulullah datang kepada kami saat kami berada di masjid sambil membawa sebuah pelepah kurma. Di bagian kiblat ada dahak yang beliau bersihkan dengan pelepah kurma itu. Kemudian beliau menghadap kepada kami dan berkata, 'Siapakah di antara kalian yang ingin Allah berpaling darinya' Kami semua menjadi takut. Beliau mengulagi pertanyaannya, 'Siapakah di antara kalian yang ingin Allah berpaling darinya' Kami menjadi tambah takut. Beliau mengulanginya lagi, 'Siapakah di antara kalian yang ingin Allah berpaling darinya' Kami menjawab, 'Tidak ada seorang pun di antara kami, wahai Rasulullah.' Beliau bersabda
فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ يُصَلِّي فَإِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قِبَلَ وَجْهِهِ فَلاَ يَبْصُقَنَّ قِبَلَ وَجْهِهِ وَلاَ عَنْ يَمِينِهِ، وَلْيَبْصُقْ عَنْ يَسَارِهِ تَحْتَ رِجْلِهِ الْيُسْرَى فَإِنْ عَجِلَتْ بِهِ بَادِرَةٌ فَلْيَقُلْ بِثَوْبِهِ هَكَذَا
'Sesungguhnya ketika seorang di antara kamu berdiri untuk shalat, maka Allah SWT berada di hadapannya. Janganlah sekali-kali kalian meludah ke depan atau ke sebelah kanan. Meludahlah ke kiri, di bawah kaki kirinya. Kalau terpaksa, maka hendaknya dia melipat bajunya seperti ini.'” Kemudian beliau menggulung-gulung bajunya, lalu berkata, 'Ambilkan minyak wangi!' Kemudian salah seorang pemuda segera menemui istrinya lalu membawakan sebuah minyak wangi. Rasulullah saw pun mengambil minyak wangi tersebut, lalu mengoleskannya pada pelepah kurma dan kemudian menggesekkannya ke bekas ludah yang melekat.' Jabir berkata, “Dari kisah inilah, kalian kemudian menaruh minyak wangi di masjid-masjid kalian.”[4]
Walaupun peristiwa ini telah menyakitkan Rasulullah dan adanya sikap yang tidak meghormati masjid, namun Rasulullah saw tidak segera bereaksi keras. Beliau juga tidak menanyakan siapa pelakunya. Beliau dengan tenang mengajarkan kepada mereka apa yang seharusnya mereka lakukan. Bahkan beliau sendiri yang membuang dahak itu dan membersihkan tempatnya.
Saya ingin menutup pembahasan ini dengan sebuah kisah terkenal dan menjadi salah satu tanda kasih sayang beliau. Tidak ada yang mampu melakukannya selain seorang nabi.
Anas bin Malik bercerita, “Ketika kami berada di masjid, tiba-tiba seorang badui datang dan langsung buang air kecil di masjid. Para shahabat langsung menghardiknya. Rasulullah berkata, ‘Biarkan dia!’ Mereka pun membiarkannya sampai lelaki badui tadi selesai buang air kecil. Rasulullah kemudian memanggilnya dan bersabda
إِنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ لاَ تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ وَلاَ الْقَذَرِ إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالصَّلاَةِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ.
”Sesungguhnya masjid ini tidak boleh terkena sedikit pun dari air kencing ini atau kotoran lainnya. Sesungguhnya ia digunakan untuk mengingat Allah SWT, shalat, dan membaca Al-Qur’an.” Rasulullah lalu memerintahkan seorang shahabat untuk membawakan seember air, lalu beliau menyiramkannya ke atas kencing tersebut.[5]
Demi Allah ini adalah peristiwa yang sangat jarang. Orang yang paling penyabar sekali pun dalam kondisi seperti ini paling tidak akan menyuruhnya untuk menghentikan buang air kecilnya. Cukup sudah dia melakukannya di masjid Rasulullah. Para shahabat yang sudah terkenal kesabaran dan kemuliaan pekerti mereka saja ingin berdiri dan melakukan sesuatu. Namun Rasulullah melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan orang-orang sebelum dan sesudahnya.
Alangkah besarnya kasih sayang beliau kepada orang badui yang belum beradab dan masih terpengaruh dengan kebiasaan Badui. Sungguh besar rahmat yang sedang kita bicarakan ini.
Bila kita mencari sikap seperti ini dalam sejarah umat manusia, kira-kira adakah hal yang serupa dengannya Jawaban pertanyaan ini sudah bisa menerangkan perbedaan yang jelas antara akhlak manusia pada umumnya dengan akhlak kenabian. Benarlah Allah yang menyatakan
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam. (Al-Anbiyâ’ 107).
[1] HR Tirmidzi (2499), Ibnu Majah (4251), Ahmad (13072), Al-Hakim (77617). Al-Albani menyatakan bahwa hadits ini shahih dalam Shahîh At-Targhîb (3139).
[2] HR Bukhari (2509), Muslim (2533), Tirmidzi (3859), Ahmad (3594), dan Ibnu Hibban (6727).
[3] HR Muslim (573), Nasa’i (1218), Abu Dawud (930), dan Ahmad (23813).
[4] HR Muslim (3008), Abu Dawud (485).
[5] HR Bukhari (217), Muslim (285), Abu Dawud (147), Tirmidzi (56), Ibnu Majah (528), dan Ahmad (13007).