Short Description
Kita telah mengulas kasih sayang Rasulullah kepada orang-orang bodoh yang tidak memang mengerti
Kita telah mengulas kasih sayang Rasulullah kepada orang-orang bodoh yang tidak memang mengerti. Namun yang lebih berat untuk diteladani adalah kasih sayang beliau kepada orang-orang yang berdosa. Orang bodoh berbuat salah karena tidak tahu, sementara orang berdosa tahu namun sengaja melakukan kesalahan. Alangkah jauh perbedaan keduanya. Orang yang berdosa melakukannya dengan pengetahuan dan terkadang tahu akibatnya.
“Tahun 1258 M. Dewan Pemeriksaan Perancis telah mengeluarkan keputusan yang isinya, seorang pendosa dihadirkan ke gereja pada hari minggu dengan punggung terbuka. Pendeta kemudian mengambil tongkat untuk dipukulkan ke punggung orang-orang ini di hadapan para jama’ah. Si pendosa ini akan menjalani nasib seperti ini selama bertahun-tahun. Hukuman ini dianggap sebagai hukuman paling ringan yang dikeluarkan oleh dewan pemeriksaan bagi mereka yang menentangnya.”
Demikianlah gambaran bagaimana mereka menyikapi seorang pendosa, sebuah gambaran yang amat berbeda dengan apa yang ada dalam kehidupan Rasulullah SAW.
Kalau kita melihat dalam kehidupan Rasulullah, kita akan mendapati banyak hal yang menakjubkan dan sedikit sekali didapatkan dalam lintasan sejarah manusia.
Abu Hurairah meriwayatkan sebagai berikut, “Ketika kami sedang duduk bersama Rasulullah, tiba-tiba seorang laki-laki datang. Ia berkata, 'Wahai Rasulullah, celakalah aku.' Beliau bertanya, 'Apa yang membuatmu celaka' Ia berkata, ‘Aku telah bersetubuh dengan istriku dalam keadaan berpuasa.’ Beliau bertanya, ‘Apakah engkau mempunyai budak untuk dimerdekakan’ Ia menjawab, ‘Tidak ada.’ 'Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut'tanya Rasulullah lagi. ‘Tidak,’ jawabnya. ‘Apakah kamu punya makanan untuk diberikan kepada 60 orang miskin’ tanya Rasulullah lagi. Ia menjawab, ‘Tidak.’ Lalu Nabi terdiam sejenak. Dalam keadaan seperti itu, Nabi dibawakan sebuah kantong berisi kurma. Beliau bertanya, ‘Mana orang yang bertanya tadi’ Ia menjawab, ‘Aku.’ Beliau bersabda, ‘Ambillah dan sedekahkan.’ Laki-laki ini bertanya, ‘Disedekahkan kepada siap lagi Demi Allah tidak ada orang yang lebih miskin dariku.’ Nabi saw tertawa sampai gigi gerahamnya terlihat. Beliau kemudian berkata, ‘Kalau begitu berikanlah kepada keluargamu’.”[1]
Laki-laki ini telah melakukan dosa besar. Ia menggauli istrinya pada siang hari bulan Ramadan dan tahu apa hukumnya. Dia tahu bahwa dia harus membayar kaffarah. Dengan ucapannya, ‘Celakalah aku’ menunjukkan bahwa dia menyadari telah melakukan pelanggaran. Namun Rasulullah dengan rahmatnya yang luas tidak menampakkan kemarahan. Beliau hanya menerangkan kepadanya cara-cara melakukan kaffarah. Ketika laki-laki ini menyatakan bahwa ia tak mampu melakukan semuanya, Rasulullah tidak marah. Bahkan beliau memberinya sekantong kurma untuk dibagikan kepada fakir miskin sebagai kaffarah sumpahnya. Namun laki-laki ini lagi-lagi mengatakan sebuah hal yang mengherankan bahwa ia adalah orang yang paling miskin di Madinah. Dia mengharapkan untuk mendapatkan korma itu.
Bagaimanakah reaksi Rasulullah menghadapi orang yang tidak mau melakukan kaffarah dosanya dengan cara apapun Bagaimana pula sikap beliau ketika orang ini ingin mendapatkan kurma sedekah untuk dirinya dan keluarganya—padahal dia yang berdosa dan bersalah
Rasulullah hanya tertawa sampai kelihatan gigi gerahamnya dan berkata, “Ambillah dan berikan kepada keluargamu.” Inilah karakter pribadi Rasulullah saw.
Dimanakah orang yang menuduh Islam sebagai agama kekerasan dan menyifati Rasulullah dengan teroris
Pernahkah terbayang dalam benak Anda suatu masa dimana pemerintah memerhatikan dan menyayangi orang miskin seperti ini
Ada kisah lain lagi yang lebih menakjubkan. Ini adalah kisah seorang yang membocorkan sebuah rahasia militer negara yang bisa berdampak pada kondisi keamanan. Inilah kisah Hathib bin Abi Balta’ah yang menyampaikan kepada kaum musyrikin Mekah bahwa Rasulullah telah menyiapkan sebuah pasukan untuk menaklukkan kota Mekah. Hal ini melanggar perintah Rasulullah dan merupakan ancaman yang besar terhadap pasukan kaum muslimin.
Bagaimanakah reaksi negara-negara yang ada di dunia jika menghadapi hal seperti ini Tentulah hukuman mati adalah sesuatu yang sangat dapat diterima apapun alasan yang diberikan, dan inilah yang diusulkan oleh sebagian shahabat.
Namun apakah yang dilakukan Rasulullah
Setelah memegang surat rahasia yang penting ini dan mengetahui bahwa ia dikirimkan oleh Hathib, beliau bertanya dengan tenang, “Wahai Hathib, apa ini“
Hathib menjawab, “Wahai Rasulullah, janganlah engkau buru-buru menjatuhkan hukuman terhadapku. Saya hanyalah orang asing yang berada di kalangan kaum Quraisy dan sama sekali bukan bagian dari mereka. Orang-orang Muhajirin yang bersamamu, mereka mempunyai keluarga di Mekah yang dapat menjaga keluarga dan harta mereka. Maka saya ingin, kalaupun saya tidak punya ikatan dengan mereka, saya ingin menanam jasa sehingga mereka dapat memberikan perlindungan kepada keluargaku. Saya tidak melakukannya karena kufur atau ragu atau ridha dengn kekufuran setelah Islam. Rasulullah bersabda, ‘Sungguh dia telah berkata jujur kepada kalian.’ Umar berkata, ‘Wahai Rasulullah, biarkanlah aku memenggal lehernya. Dia adalah orang munafik.’ Rasulullah bersabda
إِنَّهُ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا؛ وَمَا يُدْرِيْكَ لَعَلَّ اللهَ أَنْ يَكُوْنَ قَدِ اطَّلَعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ اعْمَلُوْا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ.
“Sungguh dia telah ikut serta dalam perang Badar. Engkau tidak tahu bahwasanya Allah telah memandang orang-orang yang ikut dalam perang Badar (dengan pandangan Rahmat dan ampunan)[2]. Kemudian Allah menyatakan, ‘Lakukanlah apa yang kalian inginkan, sesungguhnya Aku telah mengampuni kalian.’[3]
Tindakan pembelaan Rasulullah terhadap kelakuan Hathib tidak bisa diterima oleh banyak orang. Bahkan Umar bin Khatahb—dengan segenap kewara’an dengan kecerdasannya—tidak menerimanya. Dia berpendapat bahwa Hathib harus dibunuh atas pelanggaran ini. Bagaimana mungkin ada orang yang boleh mementingkan keluarganya dengan mengorbankan seluruh pasukan kaum muslimin Kemudian ia juga telah melanggar perintah Rasulullah secara langsung.
Walaupun begitu, Rasulullah memberikan kasih sayang yang luas dan menerima permohonan maaf dalam bentuk yang mengagumkan. Beliau tidak mencela atau memarahinya. Bahkan beliau mengangkat derajatnya dan berkata kepada Umar—dan Umar pun tahu akan hal itu—, “Engkau tidak tahu bahwasanya Allah telah memandang orang-orang yang ikut dalam perang Badar (dengan pandangan Rahmat dan ampunan). Kemudian Allah menyatakan, ‘Lakukanlah apa yang kalian inginkan, sesungguhnya Aku telah mengampuni kalian.’
Sungguh keadilan dan kasih sayang adalah dua bentuk yang berbeda.
Sesungguhnya keadilan menuntut agar Hathib dijatuhi hukuman. Namun kasih sayang mempunyai pandangan lain dalam bentuk yang lebih luas. Dengan kasih sayang, kita diminta melihat siapa yang melakukan perbuatan ini. Bagaimana ceritanya, apa yang mendorongnya untuk melakukannya, apakah pelakunya termasuk orang baik atau orang jahat.
Sungguh kasih sayang tidak menuntut adanya hukuman tapi berusaha mencari solusi yang bisa membawa pelakunya keluar dari kesalahan.
Keadilan adalah sebuah tingkatan yang cukup tinggi, namun kasih sayang lebih tinggi lagi!
Perbedaan antara dua hal ini diisyaratkan dalam firman Allah
“Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan perbuatannya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi satu makhluk melata pun.” (Fathir, 45).
Dengan keadilan, Allah bisa saja menyiksa setiap hamba-Nya. Namun dengan kasih sayang-Nya, Allah menangguhkan sampai waktu tertentu.
Perbedaan antara keduanya juga diisyaratkan dalam ayat yang lain
“Dan semua musibah yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (Asy-Syûra’ 30).
Rasulullah telah menjadikan pedoman ini sebagai sebuah kebijakan dalam hidup beliau. Beliau sudah menerapkan akhlak Al-Qur’an dan perintah-perintahnya tanpa mengurangi dan melalaikannya. Beliau seperti apa yang disifati oleh Ummul Mukminin, Aisyah, ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah saw. Ia menjawab, “Akhlaknya adalah Al-Qur’an.” Tidakkah engkau membaca pujian Allah dalam Al-Quran
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Al-Qalam 4).
[1] HR Bukhari (1834), Muslim (1111), Abu Dawud (239), Tirmidzi (724), Ibnu Majah (1671), dan Ahmad (7288).
[2] Lihat 'Aunul Ma'bûd X171, Tuhfatul Ahwadzi VIII170.
[3] HR Bukhari (2835), Muslim (2494), Abu Dawud (2650), Tirmidzi (3305), dan Ahmad (600).