Short Description
Setelah menelaah ulasan mengenai kasih sayang Rasulullah SAW terhadpa orang yang bersalah, mungkin ada yang kemudian bertanya
Setelah menelaah ulasan mengenai kasih sayang Rasulullah SAW terhadpa orang yang bersalah, mungkin ada yang kemudian bertanya, “Apabila kasih sayang beliau sedemikian besar, mengapa beliau menjatuhkan hukuman rajam kepada seorang yang sudah bersuami atau beristri yang berzina, memotong tangan orang yang mencuri, dan membunuh orang yang membunuh Bukankah bentuk kasih sayang adalah dengan memaafkan mereka”
Bagian ini insya Allah akan kita bahas dengan terperinci. Namun di sini kami ingin mulai sedikit menekankan satu poin penting yang sering dilupakan orang-orang yang menyebarkan syubhat, yaitu mereka memandang dengan kasih sayang kepada orang yang bersalah tapi tidak memandang dengan hal yang sama kepada masyarakat yang menjadi korban kesalahan tersebut.
Bila Anda melihat dengan mata yang bebas dari dorongan nafsu, engkau akan mendapati semua hukuman yang ditetapkan oleh Allah SWT dijatuhkan untuk tindakan pelanggaran yang memberi dampak negatif bagi masyarakat. Hal ini tidak diperhatikan oleh mereka yang menyebarkan syubhat, seandainya mereka memerhatikannya, tentu akan lain pendapatnya.
Seandainya ada yang mencuri harta benda dan hasil usahanya, tentu dia menginginkan pelakunya dijatuhi hukuman yang keras. Kalau ada yang melakukan pelecehan terhadap anak perempuannya atau istrinya, dia akan berusaha membunuhnya dengan tangannya sendiri sebelum dibawa ke pengadilan.
Hukuman ini ditetapkan sebagai bentuk kasih sayang kepada masyarakat dan sebagai bentuk ancaman kepada segenap manusia untuk menghindari tindakan kriminal dan pelanggaran. Ini adalah kasih sayang kepada mereka dalam bentuk yang lain. Hukuman ini juga menjadi balasan atas dosa yang dilakukan seorang hamba sehingga memudahkan perhitungan di akhirat yang lebih susah dan lebih berat dari perhitungan di dunia.
Ubadah bin Shamit meriwayatkan bahwa Rasulullah berkata kepada para shahabatnya pada saat Ba'iatul Aqabah, “Berbaiatlah kepadaku bahwa kalian tidak akan menyekutukan Allah dengan sesuatu pun, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anak kalian, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka (melakukan pengakuan dan tuduhan palsu) dan tidak akan mendurhakaiku dalam urusan yang baik. Siapa yang memenuhi janjinya, Allah akan memberinya pahala. Barangsiapa yang melanggarnya kemudian dia dihukum di dunia, itu adalah kaffarah baginya. Dan barangsiapa yang melakukannya kemudian Allah menutupinya, urusannya diserahkan kepada Allah. Bila Dia menghendaki maka Dia akan menghukumnya dan bila Dia menghendaki maka Dia akan memafkannya. Ubadah berkata, “Aku pun melakukan bai’at kepadanya atas semua itu.”[1]
Maka penerapan hukum—yang kelihatannya keras itu—sejatinya adalah kasih sayang kepada masyarakat. Ia menjadi sebuah bentuk kasih sayang karena dapat menghalangi masyarakat dari melakukan pelanggaran dan menjadi penebus dosa pelakunya.
Lebih dari itu, hukuman ini adalah perintah dari Allah SWT yang wajib dilaksanakan. Allah lebih tahu apa yang baik bagi hamba-hambanya dan alam semesta. Rasulullah menerapkan hukum-hukum ini tanpa mengurangi atau berlebih-lebihan. Beliau juga tidak menerapkan hukum ini khusus pada satu kelompok masyarakat. Beliau melaksanakan ketentuan ini untuk memberikan keamanan bagi seluruh lapisan masyakat. Beliau pernah marah ketika sebagian shahabat mencoba menghindarkan seorang wanita ningrat dari kabilah bani Makhzum, agar tidak dipotong tangannya dalam kasus pencurian. Beliau tetap menerapkan hukuman ini dan menyampaikan satu khutbah yang jelas tentang metode beliau dalam usaha meredam kriminalitas. Di antara yang beliau sampaikan dalam khutbahnya adalah
إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوْا إِذَا سَرَقَ فِيْهِمُ الشَّرِيْفُ تَرَكُوْهُ وَإِذَا سَرَقَ فِيْهِمْ الضَّعِيْفُ أَقَامُوْا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَأيْمُ اللهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا.
“Sesungguhnya yang membuat binasa umat-umat sebelum kamu ialah apabila orang mulia di antara mereka mencuri mereka meninggalkannya, namun apabila yang mencuri itu adalah orang lemah, mereka melaksanakan hukuman terhadapnya. Demi Allah seandainya Fathimah binti Muhammad (putri beliau) mencuri maka akan kupotong tangannya”[2]
Ini adalah sebuah hukum yang bersifat umum. Di dalamnya terdapat kasih sayang yang jelas bagi mereka yang masih mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.
Sisi yang indah dalam permasalahan ini adalah bahwa Rasulullah tidak berkeinginan untuk menegakkan hukuman atau mengharapkan adanya rajam, bunuh, atau potong tangan. Sesungguhnya beliau berusaha mendapatkan jalan keluar bagi orang yang berdosa.
“Dalam hal yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (Qâf 37).
Rasulullah bersabda
ادْرَءُوا الْحُدُوْدَ عَنِ الْمُسْلِمِيْنَ مَا اسْتَطَعْتُمْ فَإِنْ كَانَ لَهُ مَخْرَجٌ فَخَلُّوْا سَبِيْلَهُ فَإِنَّ اْلإِمَامَ أَنْ يُخْطِيءَ فِي الْعَفْوِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يُخْطِيءََ فِي الْعُقُوْبَةِ.
“Hindarilah hukuman dari kaum muslimin semampu kalian. Apabila baginya ada jalan keluar, bukalah jalannya. Seorang imam yang salah dalam memberikan maaf lebih baik daripada ia salah dalam mejatuhkan hukuman.”[3]
Alangkah indahnya ucapan ini dan alangkah besarnya kasih beliau.
Rasulullah tidak memburu kesalahan para pendosa. Bahkan beliau meninggalkan perkara yang belum jelas dan belum sempurna bukti-buktinya. Rasulullah pernah bersabda
تَعَافُّوْا الْحُدُوْدَ فِيْمَا بَيْنَكُمْ، فَمَا بَلَغَنِي مِنْ حَدٍّ فَقَدْ وَجَبَ.
“Hendaknya kalian saling memaafkan dalam permasalahan hukuman di antara kalian. Kalau ia telah sampai kepadaku maka hukuman itu wajib dilaksanakan.”[4]
Imam Al-Suyuthi memberi komentar atas hadits ini, “Saling memaafkanlah sesama kalian dan jangan dilaporkan kepadaku. Kalau aku sudah mengetahuinya maka pasti aku akan menegakkan hukumannya.”[5] Makna ini terlihat jelas pada peristiwa Shafwan bin Umayyah ketika ia melaporkan kepada Rasulullah bahwa seorang laki-laki mencuri barangnya. Rasulullah pun memerintahkan untuk memotong tangan si pencuri sesuai hukum. Shafwan berkata ”Wahai Rasulullah saya tidak ingin ini terjadi. Selendang ini biarlah menjadi miliknya sebagai sedekah.” Rasulullah menjawab
فَهَلَّا قَبْلَ أَنْ تَأْتِيَنِي بِهِ.
“Mengapa engkau tidak melakukan hal itu sebelum melaporkannya kepadaku”[6]
Apa yang disebutkan dalam kisah Ma’iz menguatkan hal tersebut. Sebabnya adalah seorang laki-laki bernama Hazzal yang mendorong Ma’iz untuk mengakui perbuatan zinanya. Ketika Ma’iz mengakui pelanggaran yang ia lakukan, Rasulullah merajamnya karena dia seorang yang sudah beristri. Namun Rasulullah tidak membiarkan kejadian ini berlalu begitu saja tanpa menasehati Hazzal dan umat setelahnya. Beliau bersabda
وَاللهِ يَا هَزَّالُ لَوْ كُنْتَ سَتَرْتَهُ بِثَوْبِكَ كَانَ خَيْرًا مِمَّا صَنَعْتَ بِهِ.
“Demi Allah wahai Hazzal, seandainya engkau menutupinya sungguh itu lebih baik.”[7]
Ketika kita membaca kisah Ma’iz, alangkah baiknya dipaparkan di sini untuk mengetahui kasih sayang Rasulullah ketika perkara ini dibawa kepada beliau; seorang lelaki beristri melakukan zina. Buraidah bin Hasib berkata, “Ma’iz datang kepada Nabi dan berkata, 'Wahai Rasulullah, sucikanlah saya!' Beliau menjawab, 'Kembalilah, bersitighfarlah kepada Allah dan taubatlah pada-Nya.' Ma’iz pergi tidak jauh. Ia kemudian kembali lagi dan berkata, 'Wahai Rasulullah sucikanlah saya!' Rasulullah berkata, 'Kembalilah, beristighfarlah kepada Allah dan taubatlah kepada-Nya.' Ia pun pergi tidak jauh, tapi kemudian kembali lagi dan berkata, 'Wahai Rasulullah sucikanlah saya!' Rasulullah berkata seperti tadi, sampai empat kali. Rasulullah bertanya, 'Dari apa engkau akan aku sucikan' Ia menjawab, 'Dari perbuatan zina.' Rasulullah bertanya, 'Apakah orang ini gila' Para shahabat memberitahu bahwa ia tidak gila. Rasulullah bertanya lagi, 'Apakah dia sedang mabuk' Seorang shahabat berdiri mendekatinya namun tidak mendapati bau khamar dari dirinya. Rasulullah bertanya kepadanya, “Apakah engkau telah berzina Ia menjawab, ‘ Ya’.”[8]
Di sini kita bisa melihat suatu sikap kasih sayang yang besar dalam kehidupan Rasulullah dalam adegan rajam yang sangat keras.
Ma’iz sudah datang dan mengaku telah berzina agar ditegakkan hukuman kepadanya. Dia datang dengan penuh kesadaran tanpa dipaksa seorang pun. Dia datang dalam keadaan bertaubat, mengakui dosa yang telah ia lakukan dan ingin agar dibebaskan di dunia sebelum datangnya hukuman di akhirat kelak. Hukuman adalah tebusan dosa, sebagaimana yang telah kami sebutkan sebelumnya. Dia datang kepada Rasulullah sambil berkata, “Sucikanlah aku! Sejak kesempatan pertama Rasulullah sudah mengetahui bahwa dia telah melakukan kesalahan yang besar. Tidak diragukan bila hal ini tampak pada sikap dan ucapan beliau.
Namun beliau tidak bertanya kepadanya tentang dosanya, walau sekedar untuk mencari tahu. Beliau ingin menjaga rahasia agar tidak ditegakkan kepadanya hukuman. Ini adalah bagian dari kasih sayang beliau. Tapi Ma’iz bersikeras untuk mengakui perbuatannya dan berterus terang atas dosanya pada kali yang keempat. Rasulullah tidak langsung bertindak seperti yang terjadi di banyak negara di dunia. Beliau menolaknya beberapa kali agar ia menarik kembali ucapannya karena kasih sayang beliau terhadapnya. Beliau bertanya tentang akalnya, apakah dia gila. Para shahabat menjawab, tidak. Beliau bertanya apakah dia minum khamar, karena bisa jadi hilang akalnya sehingga dia mengaku-ngaku apa yang tidak ia lakukan. Sementara hukuman minum khamar lebih ringan dibandingkan hukuman zina bagi orang yang sudah beristri atau bersuami. Tapi Ma’iz tidak minum khamar juga.
Demikianlah besarnya kasih sayang Rasulullah SAW terhadap mereka yang telah berdosa tetapi tetap memiliki kesungguhan insaf.
[1] HR Bukhari (3679), Muslim (1709), Tirmidzi (1439), Nasa’i (4161), Ahmad (2272), Ad-Darimi (2453).
[2] HR Bukhari (3288), Muslim (1688), Abu Dawud (4373), Tirmidzi (1430), Nasa’i (4898), Ibnu Majah (2547), Ahmad (25336), Darimi (2302), dan Ibnu Hibban (4402).
[3] HR Tirmidzi (1424), Baihaqi (16834), dan Hakim (8163). Al-Albani menyatakan hadits ini dhaif dalam Dhaif Jami' At-Tirmidzi IV33.
[4] HR Abu Dawud (4376), Nasa’i (4886), dan Baihaqi (17389). Al-Albani menyatakan hadits ini hasan dalam Shahîh Al-Jâmi' (2954).
[5] Lihat Aunul Ma'bûd XII27.
[6] HR Abu Dawud (4394), Nasa’i (4884), dan Ibnu Majah (2595). Al-Albani menshahihkannya dalam Shahîh Sunan Nasa'i VIII70.
[7] HR Malik (1499), Ahmad (21945), dan Hakim (8080). Al-Albani menshahihkannya di dalam Shahîh Al-Jâmi' (7990).
[8] HR Muslim (1695).