Short Description
Masih seputar kasih sayang Rasulullah terhadap orang yang bersalah. Dalam kisah Ma’iz yang telah kami paparakan,
Masih seputar kasih sayang Rasulullah terhadap orang yang bersalah. Dalam kisah Ma’iz yang telah kami paparakan, jelas sekali bagaimana beliau tidak bersikap buru-buru dan berusaha untuk mencarikan jalan keluar bagi Ma’iz walaupun ia telah mengaku bersalah. Dalam sebuah riwayat bahkan disebutkan bahwa beliau melihat kepada kaum Ma’iz dan bertanya, “Apakah kalian melihat ada sesuatu yang tidak bisa diterima pada akalnya” Mereka menjawab, “Kami tidak mengenalnya kecuali seorang yang berakal baik dan tergolong orang-orang shaleh di antara kami.”[1]
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah berusaha untuk mendapatkan jalan keluar walaupun setelah mengaku berzina. Rasulullah bertanya, “Mungkin engkau hanya menciumnya, mencumbunya, atau melihat kepadanya saja” Ia menjawab, “Tidak.”[2]
Sesungguhnya Rasulullah sudah berkata tentang Ma’iz bahwa mungkin saja ia tidak berzina dalam arti yang sesungguhnya. Tapi dari beberapa hadits ini dapat ditafsirkan bahwa memandang kepada sesuatu yang haram adalah salah satu bentuk zina. Demikian pula tangan dan anggota badan lainnya. Hal ini seperti dalam sabda beliau
إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنْ الزِّنَا أَدْرَكَ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ؛ فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا اللِّسَانِ الْمَنْطِقُ، وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي، وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ كُلَّهُ وَيُكَذِّبُهُ.
“Sesungguhnya Allah telah menetapkan atas anak Adam bagiannya dari perzinaan dan dia pasti mengalaminya. Mata zinanya melihat, lidah zinanya bicara, dan hati yang berhasrat dan berharap. Semua itu dibenarkan (diwujudkan) atau digagalkan oleh kelamin.”[3]
Dari sini Rasulullah mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya untuk mencoba mengeluarkannya dari kesusahan dari ditegakkannya hukuman.
Lalu ditegakkanlah hukuman pada Ma’iz sesuai ketentuan syari’at. Ia pun dilempari dengan batu sampai meninggal. Semoga Allah SWT meridhai dan merahmatinya.
Hukum Islam adalah rahmat bagi semua. Hukum ini bukanlah hukuman yang pedih dan tak punya perasaan. Bahkan sebaliknya, ia adalah hukuman yang tersusun dengan sempurna. Hukum ini selain ditegakkan untuk menghentikan pelanggaran, di dalamnya terdapat pendidikan kepada masyarakat untuk bertakwa dan selalu merasa diawasi oleh Allah. Hingga sampailah pada tingkatan dimana seorang yang berzina dengan sendirinya datang untuk mengakui pelanggaran yang ia lakukan, padahal tidak ada seorang pun yang menjadi saksi baginya. Kisah Ma’iz telah mencapai tingkatan ini.
Ada dua hal penting yang ingin saya sampaikan, berkaitan dengan topik kita ini
Pertama, khutbah Rasulullah di kota Madinah Al-Munawwarah pada malam hari ketika Ma’iz dirajam.
Rasulullah sepertinya sudah membaca akan timbulnya syubhat seputar kejadian ini. Beliau tentu mengetahui bahwa di Madinah atau di dunia ini akan ada yang merasa sayang kepada Ma’iz dan berpendapat bahwa hukuman tidak perlu ditegakan karena ia sudah mengumumkan taubatnya dan datang dalam keadaan menyesal.
Tetapi bagimana kita bisa mengetahui kebenaran atau kebohongan dari taubat ini Sesunggunya taubat adalah amalan hati antara hamba dengan Rabbnya. Seandainya hukum tidak ditegakkan atas suatu pelanggaran, dengan alasan si pelaku telah bertaubat, ini akan menjadi alasan bagi setiap orang yang melakukan pelanggaran. Dia akan melakukan apa saja yang diinginkan kemudian mengaku—benar atau tidak—bahwa mereka sudah taubat.
Rasulullah dalam khutbahnya mengingatkan manusia akan peristiwa dirajamnya Ma’iz. Hal ini agar jangan sampai orang-orang melakukan pelanggaran seperti itu. Ma’iz sudah menodai kemuliaan perempuan, menodai nama keluarganya, menodai istri, ayah, saudara, dan menodai kemuliaan masyarakat. Sungguh perbuatan keji ini, jika Anda membayangkannya terjadi pada sebagian keluarga Anda, tentu Anda akan menuntut agar si pelaku segera dirajam. Perbuatan ini melahirkan seorang anak—dan ini benar-benar telah terjadi pada kisah Ma’iz—yang tersiksa sepanjang hidupnya, padahal ia tidak melakukan pelanggaran sedikit pun.
Sesungguhnya zina mempunyai pengaruh buruk bagi masyarakat secara keseluruhan. Alangkah ironisnya, pelanggaran ini telah tersebar di kalangan masyarakat. Lihatlah jumlah anak zina di masyarakat Barat saat ini, bahkan di negeri-negeri Islam yang tidak menerapkan Syariat Islam. Perkara ini menjadi sebuah permasalahan yang sangat berbahaya dan tidak bisa diremehkan begitu saja.
Rasulullah sudah berusaha, setelah peristiwa yang besar ini, menjelaskan kepada seluruh manusia bahwa hukuman ini adalah sebuah rahmat bagi masyarakat dan kemanusiaan. Hukuman tidak untuk menjalankan kekerasan kepada seseorang atau memopulerkan si pendosa. Rasulullah berkata dalam khutbah
أَوَكُلَّمَا انْطَلَقْنَا غُزَاةً فِى سَبِيلِ اللهِ تَخَلَّفَ رَجُلٌ فِى عِيَالِنَا لَهُ نَبِيبٌ كَنَبِيبِ التَّيْسِ عَلَىَّ أَنْ لاَ أُوتَى بِرَجُلٍ فَعَلَ ذَلِكَ إِلاَّ نَكَّلْتُ بِهِ
“Apakah ketika kita pergi berperang di jalan Allah, ada sebagian orang yang tidak ikut serta lalu berada di antara keluarga kita (berbuat keji) sehingga mengeluarkan suara seperti kambing. Tiada seseorang pun yang tertangkap basah melakukan hal seperti itu kecuali aku pasti akan memberikan hukuman yang keras kepadanya.”[4]
Sungguh beliau telah menyampaikan sebuah kalimat yang indah dan sarat hikmah. Beliau meminta manusia untuk mengendalikan perasaan mereka dengan akal. Beliau menggambarkan suatu perbuatan yang sangat bertentangan dengan rasa kemanusiaan. Beliau menggambarkan sebuah bentuk pelanggaran yang mungkin dilakukan oleh siapa saja bila kekejian ini telah meluas di masyarakat.
Ketika orang-orang berangkat menunaikan sebuah amalan yang mulia, yaitu berjihad di jalan Allah, membela hak-hak bangsa dengan segala bentuknya, serta memperjuangkan kemuliaan umat dengan sebaik-baiknya, ada sekelompok orang yang mengkhianati dan tidak menjaga kehormatan mereka. Sekelompok orang ini memanfaatkan kesempatan tidak adanya para pejuang ini. Mereka mengambil sesuatu yang paling mulia yang dimiliki para pejuang dan menodai istri-istri mereka.
Sungguh sebuah kejahatan yang sangat keji!
Rasulullah mengisyaratkan dengan jelas bahwa pelanggaran ini bisa menimpa siapa saja yang ada di masyarakat, bahkan sampai mereka yang merasa sayang kepada si pelaku kejahatan. Beliau bersabda, “Seorang laki-laki memisahkan diri di antara keluarga kita.” Korbannya adalah keluarga kita, isti-istri kita, dan wanita-wanita muslimah. Sesungguhnya musibah sedang mengancam kita. Kitalah yang harus membayar harga kehinaan ini, bukan orang lain.
Rasulullah juga memberi isyarat dalam kata-katanya ini bahwa yang melakukan perbuatan tercela seperti ini serupa dengan hewan. Dari dirinya sudah hilang perasaan kemanusiaan. Jadi, janganlah kalian kasihan kepada mereka. Terakhir beliau mengancaman keras orang yang melakukan perbuatan tercela ini dengan hukuman yang berat.
Hukuman ini bukan dari diri Rasulullah pribadi sehingga beliau bisa menarik keputusannya kembali. Ketentuan ini adalah hukum Allah yang bagaimanapun juga akan dilaksanakan oleh Rasulullah saw.
Inilah poin pertama yang ingin saya tegaskan dalam kisah Ma’iz.
Kedua, bagaimana kondisi Madinah setelah terjadinya perstiwa ini Bagaimana reaksi Rasulullah atas banyaknya perdebatan yang ada
Buraidah berkata, “Orang-orang terbagi menjadi dua kelompok dalam peristwa ini. Sebagian berkata, ‘Sungguh binasalah dia. Dosanya telah menyelimutinya.’ Sebagian yang lain berkata, ‘Tidak ada tobat yang lebih utama dari tobatnya Ma’iz. Dia datang kepada Nabi dan berjanji, kemudian berkata Bunuhlah aku dengan batu’.”
“Suasana seperti ini terjadi selama dua atau tiga hari. Rasulullah datang pada saat para shahabat sedang duduk. Beliau mengucapkan salam kemudian duduk. Beliau bersabda, ‘Mohonkanlah ampunan untuk Ma’iz bin Malik!’ Para shahabat berkata, ‘Semoga Allah mengampuni Ma’iz.’ Rasulullah bersabda
لَقَدْ تَابَ تَوْبَةً لَوْ قُسِمَتْ بَيْنَ أُمَّةٍ لَوَسِعَتْهُمْ
“Sungguh dia telah bertobat. Seandainya tobatnya itu dibagikan kepada seluruh umat Islam, tentu akan mencukupi mereka’,” lanjut Buraidah.[5]
Allahu Akbar!!
Kita tidak akan pernah bisa membayangkan cakupan kasih sayang Rasulullah.
Walaupun beliau sangat membenci perbuatan ini dan terus melarangan manusia untuk melakukannya, tetapi beliau juga tidak ragu untuk mengumumkan di hadapan manusia bahwa Allah telah mengampuni dosa Ma’iz. Beliau tidak ragu meminta para shahabat untuk memohonkan ampunan bagi Ma’iz.
Tidak sepantasnya seseorang tenggelam memperbincangkan masalahnya selama hukuman itu telah ditegakkan dan selama ia telah mengumumkan tobatnya di hadapan mereka semua. Bahkan Rasulullah dalam suatu kesempatan lainnya membela Ma’iz sebagai bentuk kasih sayang dan kelembutan kepadanya. Abu Hurairah berkata, “Nabi saw mendengar dua orang shahabatnya berkata kepada kawannya, “Lihatlah orang ini, Allah telah menutup aibnya namun ia tidak dapat menahan dirinya, sehingga ia dirajam seperti seekor anjing.” Keduanya lalu diam. Sesaat kemudian mereka pergi hingga lewat pada sebuah bangkai keledai yang buntung kakinya. Nabi saw bertanya, “Dimana si fulan dan si fulan” Mereka berdua menjawab, ”Kami di sini wahai Rasulullah.” Beliau berkata, ”Silahkan kalian berdua turun dan makanlah bangkai keledai ini.” Mereka berdua berkata,”Wahai Nabi Allah adakah orang yang mau makan bangkai seperti ini” Beliau bersabda
فَمَا نِلْتُمَا مِنْ عِرْضِ أَخِيْكُمَا آنِفًا أَشَدُّ مِنْ أَكْلٍ مِنْهُ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّهُ اْلآنَ لَفِي أَنْهَارِ الْجَنَّةِ يَنْقَمِسُ فِيْهَا
“Apa yang telah kalian berdua lakukan tadi yaitu membicarakan kehormatanm saudara kalian, lebih buruk dari memakan bangkai ini. Demi Dzat yang diriku berada di tangan-Nya, sungguh sekarang ia telah berada di sungai surga, sedang berendam di dalamnya.”[6]
Tidak ada yang lebih utama untuk menutup pembahasan ini lebih dari firman Allah
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam. (Al-Anbiyâ’ 107)
[1] HR Muslim (1695).
[2] HR Bukhari (6324), Abu Dawud (4427), dan Ahmad (2433).
[3] HR Bukhari (5889), Abu Dawud (2657), dan Ahmad (7705).
[4] HR Muslim (1694), Abu Dawud (4422), Ahmad (20822), Darimi (2316), dan Ibnu Hibban (4436).
[5] HR Bukhari VI2500, Muslim II1321, Daruquthni III91, Thabrani X88, Abu Dawud II538, Tirmidzi IV56.
[6] HR Abu Dawud (4428), dan Baihaqi (6712). Al-Albani menyatakan bahwa hadits ini dhaif dalam Dhaîf Sunan Abi Dawûd IV148.