Short Description
“Muhammad adalah seorang pimpinan negara dan pengawas terhadap kehidupan rakyat” (Britly Saint Heller, orientalis Jerman).
“Muhammad adalah seorang pimpinan negara dan pengawas terhadap kehidupan rakyat” (Britly Saint Heller, orientalis Jerman).
”Revolusi Perancis dianggap sebagai fenomena terpenting dalam sejarah Perancis karena berhasil menumbangkan kekuasan monarki dan membuka jalan bagi kebangkitan Perancis. Namun, yang perlu diperhatikan adalah bahwa tindakan kekerasan dan pertikaian berdarah yang menjadi motor penggerak revolusi ini tidak hanya dalam membersihkan simbol-simbol kerusakan dan kesewenang-wenangan yang berujud monarki saja. Bahkan, hukuman pancung menjadi bahasa komunikatif mereka dalam menghadapi siapa saja yang berbeda pandangan dengan para revolusioner dan arah gerakannya. Sekedar diketahui, kota Paris sendiri telah kehilangan 2600 rakyat yang tewas di tangan para revolusioner yang baru.” (H.A.L. Fischer History of Europe in Modern Times, hal. 36-41.).
Inilah keadaan mereka, namun Islam berbeda.
Rasulullah saw mengetahui bahwa rakyat yang tunduk di bawah pimpinan salah seorang dari mereka sedang dalam suatu kondisi yang lemah. Mereka memerlukan kasih sayang dan kelembutan dari pemimpin mereka dan orang yang mengatur urusan mereka, bagaimanapun tingkat kepemimpinan ini. Alangkah indahnya hadits yang menjelaskan secara terperinci tanggung jawab setiap orang terhadap yang dipimpinnya. Rasulullah bersabda
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ؛ اْلإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا، وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ سَيِّدِهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ.
”Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas keluarga yang dipimpinnya. Seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang pembantu adalah pemimpin di rumah majikannya dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya.”[1]
Semua manusia adalah pemimpin dari satu sisi dan menjadi orang yang dipimpin dari sisi yang lain. Demikianlah Rasulullah berpesan kepada semua umat. Namun, pemimpin yang paling penting tentu saja pemimpin umum (penguasa), karena ia harus bertanggung jawab terhadap seluruh permasalahan umat. Baik dan tidaknya pemimpin akan berdampak baik atau buruk kepada seluruh rakyat. Dampak yang baik atau buruk itu akan terus berlanjut sampai generasi selanjutnya.
Permasalahan ini benar-benar penting, sehingga Rasulullah sangat perhatian dalam masalah ini dan khawatir jika umat ini dikuasai oleh orang-oang zalim dan mengabaikan hak-haknya. Dari sinilah kemudian terdapat banyak hadits dan kisah-kisah yang kesemuanya untuk memperingatkan para pemimpin akan pentingnya peran mereka dalam mewujudkan kebahagiaan umat.
Di antara hadits-hadits ini adalah hadits yang menjanjikan pahala dari Allah bagi para pemimpin yang berlaku adil dan mengancam mereka dengan azab apabila berlaku zalim terhadap rakyat. Rasulullah bersabda
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللهُ تَعَالَى فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ إِمَامٌ عَادِلٌ....
”Tujuh golongan yang akan dinaungi Allah dalam naungan-Nya di hari tidak ada lagi naungan selain naunganNya, pemimpin yang adil...”[2]
Dalam doanya beliau meminta
اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ.
”Ya Allah siapa saja yang memegang urusan umatku kemudian dia menyusahkan mereka maka susahkanlah dia. Dan, siapa yang memegang urusan umatku kemudian dia berlaku lembut kepada mereka maka berlaku lembutlah kepadanya.”[3]
Ada lagi hadits lain yang memberi ancaman yang menakutkan bagi setiap pemimpin yang tidak menyayangi rakyatnya.
Rasulullah bersabda
مَا مِنْ وَالٍ يَلِي رَعِيَّةً مِنْ الْمُسْلِمِيْنَ فَيَمُوْتُ وَهُوَ غَاشٌّ لَهُمْ إِلاَّ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ.
”Tidaklah seorang yang memimpin rakyatnya yang terdiri dari kaum muslimin dan mati dalam keadaan berbuat curang terhadap mereka, kecuali Allah mengharamkan baginya surga.”[4]
Beliau bersabda dalam hadits lain
مَا مِنْ أَمِيْرٍ يَلِي أَمْرَ الْمُسْلِمِيْنَ ثُمَّ لاَ يَجْهَدُ لَهُمْ وَيَنْصَحُ إِلاَّ لَمْ يَدْخُلْ مَعَهُمُ الْجَنَّةَ.
”Tidaklah seorang pemimpin yang memegang urusan kaum muslimin namun dia tidak bersungguh-sungguh terhadap mereka dan tidak menasehati mereka, kecuali ia tidak akan masuk surga bersama mereka.”[5]
Beliau juga bersabda
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَهُ
”Cukuplah menjadi dosa bagi seseorang apabila menahan makanan orang yang berada dibawah tanggungannya.”[6]
Beliau juga memeringatkan dengan keras seorang pemimpin yang bersembunyi dari rakyatnya. Beliau bersabda
مَنْ وَلاَّهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ شَيْئًا مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِيْنَ فَاحْتَجَبَ دُوْنَ حَاجَتِهِمْ وَخَلَّتِهِمْ وَفَقْرِهِمْ احْتَجَبَ اللهُ عَنْهُ دُوْنَ حَاجَتِهِ وَخَلَّتِهِ وَفَقْرِهِ.
”Siapa yang Allah jadikan pemimpin di antara kaum muslimin kemudian dia bersembunyi dari kebutuhan, kemiskinan, dan kefakiran mereka (menahan hak yang mereka butuhkan)[7], maka Allah akan menahan kebutuhan, kemiskinan, dan kefakirannya.”[8]
Semua ini adalah bukti nyata rasa sayang beliau terhadap rakyat.
Beliau juga khawatir apabila ada pemimpin yang mengambil harta rakyatnya untuk dirinya dan mengharuskan mereka untuk membayar pajak untuk dirinya sendiri. Beliau mengajarkan kepada kaum muslimin dalam sebuah kisah agung bagaimana seharusnya sikap seorang pemimpin terhadap rakyatnya.
Rasulullah pernah menyuruh seorang dari Bani Al-Azd bernama Ibnul Utbiyyah untuk mengumpulkan sedekah. Ketika ia datang, ia berkata, ”Ini adalah harta zakat untuk kalian, sedangkan yang ini dihadiahkan kepadaku.” Rasulullah bersabda
فَهَلاَّ جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيْهِ أَوْ بَيْتِ أُمِّهِ فَيَنْظُرَ يُهْدَى لَهُ أَمْ لاَ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لاَ يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلاَّ جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ، إِنْ كَانَ بَعِيْرًا لَهُ رُغَاءٌ، أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ، أَوْ شَاةً تَيْعَرُ.
”Mengapa dia tidak duduk di rumah bapak atau rumah ibunya sambil menanti apakah dia diberi hadiah atau tidak. Demi jiwaku yang berada di tangan-Nya, tiadalah seorang yang mengambil darinya sesuatu kecuali akan dipikulnya hari kiamat, baik itu Onta yang berteriak, atau sapi yang bersuara, atau kambing yang mengembik.” Kemudian beliau mengangkat tangan sampai kami melihat ketiak beliau yang putih
تَيْعَرُاللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ، ثَلَاثًا
”Ya Allah telah saya sampaikan, ya Allah telah saya sampaikan..tiga kali.”[9]
Banyak hadits dan kisah yang menjelaskan besarnya tanggung jawab seorang pemimpin. Ada ancaman bagi seorang pemimpin bila berlaku zalim atau curang kepada rakyatnya. Dan, ada berita gembira bila ia berbuat adil dan lembut kepada manusia.
Rasulullah menolak memberikan kekuasaan kepada yang meminta dan yang merindukannya karena khawatir rakyat akan dikuasai oleh pencinta kekuasaan. Abu Musa Al-Asy’ari menuturkan, ”Aku mendatangi Nabi bersama dua orang laki-laki dari kaumku. Seorang di antara mereka berkata, ’Berikan kekuasaan kepada kami wahai Rasulullah.’ Yang satunya juga mengatakan seperti itu. Beliau bersabda
إِنَّا لاَ نُوَلِّي هَذَا مَنْ سَأَلَهُ وَلاَ مَنْ حَرَصَ عَلَيْهِ.
’Kami tidak akan memberikan kekuasaan ini bagi yang memintanya’.”[10]
Beliau berusaha memberikan rambu-rambu yang dapat menjamin berlangsungnya praktek keadilan kepada rakyat. Beliau mendorong seorang pemimpin untuk mengambil pembantu yang baik. Pembantu yang dapat memberikan pandangan dengan jujur dan menasihatinya untuk berlaku benar dan adil. Rasulullah bersabda
مَا اسْتُخْلِفَ خَلِيفَةٌ إِلاَّ لَهُ بِطَانَتَانِ بِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالْخَيْرِ وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ وَبِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالشَّرِّ وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ وَالْمَعْصُوْمُ مَنْ عَصَمَ اللهُ.
“Tiadalah seorang pemimpin diangkat kecuali dia akan mempunyai dua pembantu; pembantu yang memerintahkannya berbuat baik dan mendukungnya, serta pembantu yang menyuruhnya dan mendorongnya untuk berbuat jahat. Seorang yang terjaga adalah orang yang dijaga oleh Allah.”[11]
Lebih dari itu, beliau menyuruh rakyat agar mengambil peran dalam memperbaiki pemimpin dan meluruskan kezalimannya apabila ia berbuat zalim. Dengan demikian, sifat kasih sayang menjadi dominan dalam sebuah pemerintahan dan menjadi fenomena keseharian dalam kehidupan.
Abu Bakar berkata, “Wahai sekalian, sesungguhnya kalian membaca ayat ini
‘Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk.’[12] Dan sungguh aku telah mendengar Rasulullah saw bersabda
إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوْا الظَّالِمَ فَلَمْ يَأْخُذُوا عَلَى يَدَيْهِ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمْ اللهُ بِعِقَابٍ مِنْهُ.
‘Sesungguhnya apabila manusia melihat orang zalim kemudian dia tidak memperingatkannya (menuntunnya menuju kebaikan), ada kemungkinan Allah menimpakan azab kepada mereka seluruhnya’.”[13]
Rasulullah juga bersabda
إِنَّ مِنْ أَعْظَمِ الْجِهَادِ كَلِمَةَ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ.
“Sesungguhnya diantara bentuk jihad yang paling agung adalah menyampaikan kebenaran di depan pemimpin yang zalim.”[14]
Demikianlah Nabi berpesan kepada para pemimpin untuk sayang kepada rakyatnya dan berpesan kepada rakyat untuk memperingatkan pemimpin apabila berbuat zalim dan melanggar kaedah keadilan dan kasih sayang. Dengan demikian, Nabi saw telah memelihara tatanan kasih sayang secara luas, sempurna, dan terus berlanjut hingga hari kiamat.
Penting juga untuk diingat bahwa pesan untuk berkasih sayang dan berlaku adil juga berlaku kepada non muslim. Banyak hadits dan kisah yang menceritakan hal ini. Benarlah Allah yang berkata tentang nabi-Nya
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam. (Al-Anbiyâ’ 107).
[1] HR Bukhari (835), Muslim (1829), Abu Daud (2928), Tirmidzi (1705), Ahmad (5167), Malik (991), dan Ibnu Hibban (4489).
[2] HR Bukhari (629), Muslim (1031), Tirmidzi (2391), Nasa’i (5380), Ahmad (9663), Malik (1709), Ibnu Khuzaimah (358), dan Ibnu Hibban (4486).
[3] HR Muslim (1828), Ahmad (24666), dan Ibnu Hibban (553).
[4] HR Bukhari (6732), Muslim (142), Darimi (2796), dan Ibnu Hibban (4495).
[5] HR Muslim (142).
[6] HR Muslim (996), Abu Daud (1692), Ahmad (6828), dan Ibnu Hibban (2440).
[7] Dalam 'Aunul Ma'bud dijelaskan maknanya adalah pemimpin yang tidak mau keluar untuk melayani kebutuhan dan menerima pengaduan dari rakyatnya. Hal ini dilakukan karena menganggap mereka tidak layak mendapatkannya dan meremehkan orang-orang fakir. Allah pun akan menjauhkannya dari yang ia inginkan. Lihat 'Aunul Ma'bud VI426, Mirqâtul Mafâtih XI365.
[8] HR Tirmidzi (1332), Abu Dawud (2948), dan Ahmad (18062). Al-Albani menyatakan hadits ini shahih dalam Silsilah Ash-Shahîhah (629).
[9] HR Bukhari (2457), Muslim (1823), Ahmad (23646).
[10] HR Bukhari (6730), Muslim (1733), Ahmad (19681), dan Ibnu Hibban (4481).
[11] HR Bukhari (6237), Muslim (4202), Ahmad (11360), dan Ibnu Hibban (6192).
[12] Al-Mâidah 105.
[13] HR Tirmidzi (2168), Ibnu Majah (4005), Abu Dawud (4338), Ahmad (30), Ibnu Hibban (305), dan Hakim (7912). Al-Albani menyatakan bahwa hadits ini shahih dalam Shahîh At-Targhîb (2317).
[14] HR Tirmidzi (2174), Abu Daud (4344), dan Ibnu Majah (4012). Al-Albani menyatakan bahwa hadits ini shahih dalam Shahîh Al-Jâmi' (2209).