Short Description
Dahulu, situasi dan kondisi dunia berada dalam gelapnya kekacauan, kesesatan, kezaliman, kesewenang-wenangan,
Dahulu, situasi dan kondisi dunia berada dalam gelapnya kekacauan, kesesatan, kezaliman, kesewenang-wenangan, dan tipu daya, bahkan termasuk oleh para pemangku agama dan para pendeta. Dalam artikel ini, kami akan menceritakan kisah Salman Al-Farisi—Semoga Allah meridhainya, bukan untuk sebuah hiburan sebagaimana anggapan sebagian orang, tetapi untuk melihat hakikat situasi dan kondisi di Persia, Syam, Madinah, Mekah, dan negara-negara berperadaban di masa itu.
Kisah ini dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan langsung dari Salman Al-Farisi—Semoga Allah meridhainya, dalam Musnad Imam Ahmad, bahwa Abdullah ibnu Abbas—Semoga Allah meridhainya—berkata Salman Al-Farisi menceritakan kepadaku kisahnya dari mulutnya sendiri, ia berkata
Aku adalah orang Persia dari daerah Ashbahân, tepatnya dari sebuah desa di sana yang bernama Jayy. Ayahku adalah kepala desa itu, dan aku adalah makhluk Tuhan yang paling ia sayangi. Cintanya kepadaku membuatnya selalu mengurungku di dalam rumahnya—untuk selalu berada di dekat api sesembahan Kaum Majusi—seperti seorang anak perempuan. Aku saat itu benar-benar serius dalam agama Majusi, sampai aku menjadi pelayan api yang selalu menjaganya dan tidak membiarkannya padam walau sesaat.
Ayahku juga memiliki kebun yang sangat luas. Suatu hari, ayahku sibuk di sebuah bangunan miliknya, lalu ia berkata 'Anakku, aku tidak sempat melihat kebun kita hari ini karena sibuk di bangunan ini. Pergilah engkau menyambanginya'. Ia juga menyuruhku untuk melakukan beberapa hal yang ia inginkan di sana. Aku pun keluar hendak menyambangi sawahnya. Saat itu, aku melintas di sebuah gereja Nasrani, dan mendengar suara-suara mereka yang sedang bersembahyang di dalamnya. Aku tidak tahu apa-apa tentang orang-orang itu, karena ayahku selalu mengurungku di rumah. Saat aku melintas di dekat mereka dan mendengar suara mereka, aku masuk melihat apa yang mereka kerjakan.
Ketika aku melihat mereka, aku sangat kagum kepada tata-cara mereka sembahyang, dan aku ingin seperti mereka. Aku pun berkata 'Ini, demi Allah, lebih baik daripada agama yang kami anut'. Dan akhirnya, aku tetap di sana dan tidak meninggalkan mereka sampai tenggelam matahari. Aku membiarkan kebun ayahku dan tidak mendatanginya sama sekali. Aku ketika itu bertanya kepada mereka 'Dari manakah sumber agama ini' Mereka menjawab 'Syam'.
Setelah itu, aku pulang menemuai ayahku yang ternyata telah mengirim orang untuk mencariku. Ia terpaksa meninggalkan semua pekerjaannya karena mencariku. Setelah aku tiba di rumah, ia bertanya kepadaku 'Wahai anakku, dari mana saja engkau Bukankah aku telah menyuruhmu melakukan apa yang aku suruh' Aku menjawab 'Ayahku, aku tadi melewati orang-orang yang sedang bersembahyang di gereja mereka, dan aku sangat kagum terhadap agama mereka. Demi Allah, aku terus bersama mereka hingga matahari terbenam'. Mendengar itu, Ayahku berkata 'Anakku, tidak ada kebaikan pada agama yang engkau lihat itu. Agamamu dan agama nenek moyangmu jauh lebih baik daripada itu'. Aku menjawab 'Tidak, demi Allah, agama itu lebih baik daripada agama kita'. Ayahku pun merasa khawatir terhadapku. Lalu setelah itu, ia membelenggu kakiku dan mengurungku di dalam rumahnya.
Kemudian orang-orang Nasrani mengutus seseorang menemuiku. Lalu aku berpesan kepada mereka 'Jika ada kafilah dagang Nasrani dari Syam datang kepada kalian kabarilah aku'. Tidak lama kemudian, datanglah kepada mereka kafilah dagang Nasrani dari Syam. Mereka pun mengabariku tentang kedatangan mereka. Lalu aku katakan kepada mereka 'Jika mereka telah menyelesaikan urusan mereka dan hendak kembali ke negeri mereka, kabarilah aku'.
Saat kafilah dagang tersebut hendak kembali ke negeri mereka, orang-orang Nasrani itu mengabarkannya kepadaku. Aku pun segera melepaskan belenggu yang ada di kakiku, kemudian pergi bersama mereka hingga tiba di Syam. Setelah sampai di sana, aku bertanya 'Siapakah pemeluk agama ini yang paling terbaik di sini' Mereka menjawab 'Uskup di Gereja'. Aku pun mendatangi sang uskup dan berkata kepadanya 'Aku ingin masuk agama ini, dan aku ingin turut melayani Anda di gereja Anda, lalu belajar dari Anda dan sembahyang bersama Anda'. Sang uskup menjawab 'Masuklah!' Lalu aku masuk bersamanya.
Ternyata si uskup ini adalah seorang yang berperangai buruk. Ia menyuruh dan menganjurkan orang-orang untuk bersedekah, tetapi ketika mereka mengumpulkan harta sedekah kepadanya, ia menyimpannya untuk dirinya sendiri dan tidak membagikannya kepada orang-orang miskin, sampai ia berhasil mengumpulkan tujuh peti emas dan perak.
Akupun sangat membencinya kerana melihat apa yang ia lakukan itu. Kemudian ia meninggal dunia, dan orang-orang Nasrani berkumpul untuk memakamkannya. Lalu aku katakan kepada mereka 'Orang ini adalah orang yang berperilaku buruk; ia menyuruh dan menganjurkan kepada kalian untuk bersedekah, namun ketika kalian mengumpulkannya, ia malah menyimpannya untuk dirinya sendiri dan tidak memberikannya kepada orang-orang miskin sedikit pun'. Mendengar itu, mereka bertanya 'Dari mana engkau mengetahui hal ini' Aku menjawab 'Aku akan tunjukkan kepada kalian di mana ia menimbun harta itu'. Mereka berkata 'Tunjukkanlah kepada kami!' Kemudian aku pun menunjukkan kepada mereka tempat harta itu. Lalu mereka mengeluarkan dari sana tujuh peti yang penuh dengan emas dan perak. Saat melihat itu, mereka berkata 'Demi Allah, kami tidak akan menguburkan jasad orang ini'. Kemudian mereka menyalib si uskup dan melemparnya dengan batu. Setelah itu, mereka mendaulat sorang laki-laki lain untuk menduduki posisi uskup itu.
Aku tidak pernah melihat ada seorang lelaki yang tidak melakukan shalat lima waktu yang lebih baik, lebih zuhud terhadap dunia, lebih mengharapkan Akhirat, serta lebih kuat beribadah di malam dan siang hari daripada uskup yang baru itu. Aku pun sangat mencintainya dan tidak pernah mencintai seseorang seperti itu sebelumnya. Aku tinggal bersamanya beberapa lama, hingga ia wafat. Sebelum ia wafat, aku berkata kepadanya 'Wahai fulan, aku telah bersamamu selama ini dan sangat mencintaimu. Aku tidak pernah mencintai seorang pun sebelum ini seperti aku mencintaimu. Sekarang engkau akan dijemput oleh ketentuan Allah ini, kepada siapakah engkau titipkan aku, dan apa yang engkau perintahkan kepadaku' Ia menjawab 'Anakku, demi Allah, aku tidak tahu ada orang di masa sekarang yang berada di atas ajaran yang aku anut ini. Orang-orang telah celaka, mereka telah mengubah-ubah ajaran yang benar dan meninggalkan agama mereka, kecuali seorang laki-laki yang kini ada di daerah Mosul, namanya Fulan. Ia masih memeluk ajaran yang aku anut. Temuilah ia!
Setelah uskup itu meninggal dunia dan dikebumikan, aku pergi menemui laki-laki yang berada di Mosul itu, lalu berkata kepadanya 'Wahai fulan, si fulan telah berpesan kepadaku saat tiba ajalnya, agar aku menemuimu. Beritahulah aku apakah engkau menganut ajaran seperti ajarannya' Ia menjawab 'Tinggallah bersamaku!' Lalu aku pun tinggal bersamanya, tetapi tidak lama setelah itu, ia juga meninggal dunia. Saat ia menghadapi maut, aku berkata kepadanya 'Wahai fulan, si fulan dahulu telah berpesan kepadaku untuk menemuimu, dan engkau sekarang sedang menghadapi ketentuan Allah ini, kepada siapakah engkau titipkan aku, dan apakah yang engkau perintahkan kepadaku' Ia menjawab 'Hai anakku, demi Allah, aku tidak mengetahui ada orang yang menganut ajaran kita kecuali seorang laki-laki yang kini ada di daerah Nashîbîn, namanya fulan. Temuilah laki-laki itu!'
Setelah laki-laki ini meninggal dan dikebumikan, aku pun pergi ke Nashîbîn untuk menemui orang yang ia sebutkan itu. Ketika bertemu dengannya, aku menyampaikan kisahku dan pesan temanku itu. Laki-laki itu berkata 'Tinggallah bersamaku'. Lalu aku pun tinggal bersamanya, dan demi Allah, aku menemukannya benar-benar seperti dua orang temannya yang terdahulu. Aku tinggal bersama seorang lelaki yang sangat baik. Tetapi demi Allah, tidak lama setelah itu, ia juga meninggal dunia. Saat ia menghadapi ajalnya, aku berkata kepadanya 'Wahai fulan, si fulan dahulu telah berpesan kepadaku untuk menemui fulan, lalu ia juga berpesan kepadaku untuk menemuimu. Kini, kepada siapakah engkau titipkan aku selanjutnya, dan apakah yang engkau perintahkan kepadaku' Ia berkata 'Anakku, demi Allah, kami tidak mengetahui ada orang yang masih berada di atas agama kita ini dan dapat aku suruh engkau menemuinya, kecuali seorang lelaki di daerah `Amûriyyah. Ia masih memegang ajaran yang kita anut ini. Jika mau, engkau dapat mendatanginya'.
Setelah ia meninggal dunia dan dikebumikan, aku mendatangi lelaki di `Amûriyyah itu dan bercerita kepadanya tentang perjalananku. Ia lalu berkata 'Tinggallah bersamaku!' Aku pun tinggal bersama seseorang yang ternyata juga berada di atas ajaran sahabat-sahabat yang dahulu. Aku bekerja di sana bersamanya hingga memiliki beberapa ekor sapi dan kambing. Kemudian tibalah saatnya ketentuan Allah turun pula kepadanya. Saat ia akan meninggal dunia, aku berkata kepadanya 'Wahai fulan, sungguh aku pernah tinggal bersama si fulan, lalu ia berpesan kepadaku untuk menemui si fulan, lalu si fulan itu berpesan kepadaku untuk menemui si fulan, dan ia juga berpesan kepadaku untuk menemuimu. Kini, kepada siapakah engkau titipkan aku, dan apakah yang engkau perintahkan kepadaku' Ia menjawab 'Anakku, demi Allah, aku tidak tahu ada seseorang yang menganut ajaran seperti apa yang kita anut ini untuk aku suruh engkau menemuinya. Tetapi engkau sekarang sudah hampir sampai ke zaman seorang nabi. Ia akan diutus membawa agama Ibrahim. Ia muncul di negeri Arab dan melakukan hijrah ke negeri yang diapit oleh dua pegunungan hitam, dan di antara kedua gunung itu terdapat banyak pohon kurma. Pada diri nabi itu terdapat tanda-tanda yang sangat jelas ia mau menerima hadiah, tetapi tidak mau menerima sedekah, dan di antara kedua pundaknya terdapat cap kenabian. Jika engkau bisa pergi ke negeri itu, lakukanlah'.
Kemudian orang itu meninggal dunia dan dikebumikan. Aku pun setelah itu tinggal di `Amûriyyah beberapa lama. Pada suatu ketika, lewatlah di daerahku beberapa pedagang dari Bani Kalb. Aku lalu mengatakan pada mereka 'Maukah kalian membawaku ke tanah Arab, dan aku akan memberikan kepada kalian sapi-sapi dan kambing-kambingku ini' Mereka menjawab 'Ya'. Aku pun memberikan ternak-ternakku itu kepada mereka. Tapi ketika kami tiba di daerah Wâdi Al-Qurâ, mereka menzalimiku. Mereka menjualku kepada seorang Yahudi sebagai budak. Aku pun tinggal bersama si Yahudi itu, dan di tempatnya itu, aku melihat pohon-pohon kurma. Aku berharap bahwa negeri inilah yang dimaksud oleh sahabatku itu, tetapi aku masih belum yakin. Pada suatu hari, saat aku sedang bersamanya, datanglah keponakannya—yang berasal dari dari Bani Quraizhah—dari Madinah. Si keponakan ini pun membeliku dari pamannya itu, lalu membawaku ke Madinah. Demi Allah, saat aku melihat kota itu, aku melihatnya persis seperti ciri-ciri yang diceritakan oleh sahabatku. Aku pun tinggal di sana. Lalu Allah mengutus Rasul-Nya, dan beliau tinggal di Mekah beberapa waktu, sementara aku tidak pernah mendengar kabar tentangnya disebabkan kesibukanku sebagai budak. Kemudian beliau melakukan hijrah ke Madinah. Demi Allah, saat itu, aku sedang berada di pucuk kurma milik tuanku, sedang melakukan beberapa pekerjaanku, dan tuanku duduk di dekat sana. Tiba-tiba datanglah keponakannya, lalu berdiri di hadapannya seraya berkata 'Semoga Allah menghancurkan Bani Qailah! Demi Allah, mereka sekarang sedang berkumpul di Qubâ' di bawah pimpinan seorang lelaki yang mendatangi mereka dari Mekah hari ini. Mereka mengklaim bahwa lelaki itu adalah seorang nabi'.
Ketika mendengar berita itu, tubuhku gemetar hingga hampir saja jatuh menimpa tuanku. Aku pun segera turun dari pohon kurma itu dan berkata kepada keponakan tuanku 'Apa yang engkau katakan Apa yang engkau katakan' Tuanku pun marah dan menamparku dengan sangat keras, lalu berkata 'Apa urusanmu dengan hal ini Kembalilah bekerja!' Aku menjawab 'Tidak ada, saya hanya ingin memastikan apa yang ia katakan'.
Kemudian Salman memiliki kisah masuk Islam yang menarik bersama Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam, tetapi bukan tempatnya menceritakan itu sekarang.
Pelajaran dari Kisah Salman
Inti yang ingin kita ambil dalam kisah di atas adalah bahwa berkas cahaya kebenaran di dunia saat itu demikian terbatas. Ia bukan lagi ada di kota atau desa tertentu, melainkan hanya pada beberapa gelintir orang.
Salman—Semoga Allah meridhainya—telah menempuh jarak yang sangat jauh untuk mencari satu orang manusia. Ia berangkat dari Ashbahân menuju Syam, lalu ke Mosul, lalu ke Nashîbîn, lalu ke `Amûriyyah, kemudian menderita perbudakan di Wâdil Qurâ, lalu tetap menjadi budak sampai ke Madinah, hingga kemudian Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—datang.
Kalaulah Salman mau menerima saja kondisinya di Persia, niscaya sampai akhir hayatnya ia akan duduk menunggu nyala api, mengobarkannya setiap kali hendak padam. Dengan demikian, berapa waktu yang akan ia sia-siakan, berapa lamakah umurnya yang terbuang tiada berguna!
Akan tetapi Salman kemudian memeluk Islam dan menjadi salah satu tokoh dunia yang paling agung. Bahkan Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—mengangkatnya hingga derajat yang sangat tinggi. Beliau bersabda tentangnya, Salman adalah bagian dari kami, Ahlul Bait.
Demikianlah situasi dan kondisi dunia saat itu, sebagaimana digambarkan dalam kisah sang pencari kebenaran, Salman Al-Farisi.